Sunday, August 2, 2009

TAJSIM/PENJASMANIAN &TASYBIH/PENYERUPAAN ALLAH SWT. KEPADA MAKHLUK-NYA

Golongan Wahabi/Salafi melarang orang mentakwil ayat-ayat Ilahi atau hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan dengan shifat. Jadi bila ada kata-kata di alqur’an dan hadits wajah Allah, tangan Allah dan seterusnya harus diartikan juga sebagai wajah dan tangan Allah secara sesungguhnya serta kita tidak boleh membayangkan-Nya atau bertanya tentangnya. Sebagaimana yang telah dikemukakan yaitu pengalaman seorang pelajar dikota Makkah berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra –yang suka menyalahkan dan juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengannya–mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/bolehnya melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat mutasyabihat/samar. Ulama tunanetra yang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat mutasyabihat, langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelakuan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu –setelah didamprat habis-habisan– dengan tenang memberi komentar: ‘Kalau saya tidak boleh takwil, maka andaakan buta di akhirat’. Ulama tunanetra itu bertanya: ‘Mengapa anda mengatakan demikian?’. Dijawab: Bukankah dalam surat al–Isra’ ayat 72 Allah swt. berfirman: ’Barangsiapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar’. Kalau saya tidak boleh takwil, maka buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata dan tentunya nasib anda nanti akan sangat menyedihkan yakni buta diakhirat karena didunia ini anda telah buta mata (tunanetra).
Karenanya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat diatas –menurut mereka– diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa!



Sebagaimana sering diutarakan dalam buku ini bahwa golongan Wahabi dan pengikutnya, percaya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya tekst) atau literal dan tidak ada arti majazi atau kiasan didalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami hal tersebut. Kami mengutip berikut ini beberapa ayat Ilahi yang mutasyabihat (kalimat perumpamaan atau kalimat samar) dalam menerangkan keadaan diri-Nya, seperti dalam firman-firman-Nya:



Dalam surat all-Araf 54: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber semayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang meng- ikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.



Dalam surat An-Nur: 35 : “ … Allah adalah cahaya langit dan bumi”.



Dalam surat As-Shaad 75 : “ ...hai iblis apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku “. Dalam surat Al-Fushilat 12 : ”maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari…”.



Dalam surat Al-Baqarah 186 : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku ini dekat …”. Dalam surat Qaaf 16 : “..dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” .



Dalam surat Al-Fushilat 5 : “ .. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha meliputi segala sesuatu “.

Dalam surat Al-Baqarah 115 : “.. kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah ..“ dan juga masih ada firman-friman Allah lainnya yang mutasyabihaat.



Sangat jelas bagi kita, bahwa ungkapan-ungkapan mutasyabihat ayat-ayat diatas ini, dimengerti bukan untuk ditafsirkan secara hakiki/arti sebenarnya, tetapi boleh ditafsirkan secara majazi/kiasan atau sesuai dengan ke Maha Suci dan ke Maha Agungan-Nya. Bila ayat-ayat diatas ini mempunyai arti yang sebenarnya, maka jelaslah bahwa Allah swt. –na’udzubillah– mempunyai sifat seperti makhluk-Nya. Yang mana hal ini telah dibantah sendiri oleh Allah swt. dalam firman-Nya:‘ Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’ (QS Asy-Syuura [42]:11) ; ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS Al-An’aam [6] : 103) ; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’. ( QS Ash-Shaffaat : 159) dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.



Alqur’an didalam mengungkapkan suatu masalah ada yang konkrit, misalnya hukum waris, hukum syariat mu’amalat, dijelaskan dengan kalimat yang bukan kiasan, yaitu muhkamat artinya sudah jelas, tidak perlu ditafsirkan lagi, seperti shalatlah kamu, bayarlah zakat dan sebagainya. Akan tetapi kalau sudah mencakup persoalan ghaib, misal: tentang Allah, rahasia langit, peralatan akhirat, surga, neraka dan lain-lain maka Alqur’an menggunakan kalimat perumpamaan (metafora), yang biasa disebut mutasyabihaat. Kurang tepat juga bila dikatakan kalau Allah berada di mana-mana, walau pun difirmankan “….kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. Juga tidak pula bisa dikatakan bahwa Allah berada di langit atas sana sehingga kita harus menunjuk kearah atas atau ketika kita berdo’a kita menengadahkan tangan keatas sambil dibenak/dipikiran kita beranggapan bahwa Allah seolah-olah ada dilangit diatas nun jauh disana. Sekali lagi kalau dikatakan Allah dilangit atas sana berarti Allah bertempat tinggal di langit dan kalau demikian jadinya berarti selain dilangit apakah tidak ada Allah –na’udzubillah–.



Hakikat langit yang sebenarnya bukanlah berupa alam fisik, seperti dzan (persangkaan) kita selama ini. Dia Maha meliputi segala sesuatu. Begitu juga bila Allah swt. memerlukan singgasana (’Arsy), seakan-akan Allah setelah membuat langit dan bumi berserta isinya naik kembali ke tahta-Nya? Kalau Allah memerlukan singgasana (’Arsy) berarti Allah memerlukan ruangan untuk bertempat tinggal?, na’udzubillah. Alangkah kelirunya bila orang mengartikan ayat-ayat ilahi yang mutasyabihaat (samar) ini secara hakiki/arti sebenar- nya. Mereka mengatakan Allah dalam menciptakan iblis menggunakan kedua tangan-Nya secara hakiki, dan dikatakan Allah mempunyai wajah –na’udzu billah– dan lain sebagainya secara hakiki.



Dengan adanya riwayat-riwayat demikian, Allah swt. menjadi seorang makhluk– Na’udzubillah– yang mempunyai sifat-sifat hakiki yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Bahwa istilah ‘langit’ bukan hanya melukiskan alam fisik saja tetapi keseluruhannya, dari alam terendah sampai tertinggi, dari alam ghaib sampai alam maha ghaib. Istilah ‘langit’ digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang ghaib, dan bukan melulu alam fisik. Banyak ahli tafsir yang mengartikan makna-makna ayat Allah swt., umpamanya: “Kursi Allah meliputi langit dan bumi. “ Kata Kursi dalam ayat ini berarti Ilmu, jadi ayat ini diartikan sebagai berikut: “Ilmu Allah meliputi langit dan bumi”. Begitu juga firman-firman Allah swt.: Wajah Allah berarti Dia Allah, Tangan Allah berarti Kekuasaan Allah, Mata Allah berarti Pengawasan Allah dan lain sebagainya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengan ke Maha Sucian dan ke Maha Agungan-Nya. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an.



Marilah kita teliti lagi berikut ini beberapa contoh saja dari ayat Al-Qur’an dan hadits yang ditakwil (digeser) dari makna aslinya/dhahirnya tekst dan firman-firman Allah swt. yang mutasyabihat boleh diartikan sesuai dengannya, dengan demikian tidak akan berbenturan dengan firman-firman Allah swt. yang lain. Diantara sahabat besar yang berjalan diatas kaidah takwil adalah Sayyiduna Ibnu Abbas ra., anak paman Rasulallah saw. dan murid utama Imam Ali -karramallahu wajhahu- yang pernah mendapat do’a Nabi saw. , “Ya Alah ajarilah dia (Ibnu Abbas) tafsir Kitab (Al Qur’an).” (HR. Bukhari). Telah banyak riwayat yang menukil takwil beliau tentang ayat-ayat sifat dengan sanad yang shahih dan kuat.



1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat: يومَ يُكْشَفُ عَنْ ساقٍ

“Pada hari betis disingkapkan.” (QS.68 [al Qalam]:42)

Ibnu Abbas ra. berkata (ayat itu berarti): “Disingkap dari kekerasan (kegentingan).” Disini kata ساقٍ (betis) dita’wîl dengan makna شِدَّةٌ kegentingan.



Ta’wîl ayat di atas ini telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29/38. Ia mengawali tafsirnya dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli ta’wîl, maknanya (ayat al-Qalam:42) ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang genting.”



Dari sini tampak jelas bahwa menta’wîl ayat sifat adalah metode dan diamal- kan para sahabat dan tabi’în. Mereka adalah salaf kita dalam metode ini. Ta’wîl itu juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said ibn Jubair, Qatadah dan lain-lain.



2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat: و السَّمَاءَ بَنَيْناهَا بِأَيْدٍ و إِنَّا لَمُوسِعُونَ

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS.51 [adz Dzâriyât] : 47)



Kata أَيْدٍ secara lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jama’ dari kata يَدٌ. (Baca Al Qamûs al Muhîth dan Tâj al ‘Ârûs,10/417.)

Akan tetapi Ibnu Abbas ra’ mena’wîl arti kata tangan dalam ayat Adz-Dzariyat ini dengan بِقُوَّةٍ artinya kekuatan. Demikian diriwayatkan al-Hafidz Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27.



Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh tabi’în dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.



3). Allah swt. berfirman: فَاليومَ نَنْساهُمْ كما نَسُوا لِقاءَ يومِهِم هَذَا

“Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupa kan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS.7 [al A’râf];51)



Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat ini yang menyebut (Allah) melupakan kaum kafir dengan ta’wîl ‘menelantarkan/membiarkan’.

 Ibnu Jarir berkata: ‘Yaitu maka pada hari ini yaitu hari kiamat, Kami melupakan mereka, Dia berfirman, Kami membiarkan mereka dalam siksa..’ (Tafsir Ibnu Jarir, 8/201)



Di sini Ibnu Jarir mena’wîl kata melupakan dengan membiarkan. Dan ia adalah penggeseran sebuah kata dari makna aslinya yang dhahir kepada makna majazi/kiasan. Beliau telah menukil ta’wîl tersebut dengan berbagai sanad dari Ibnu Abbas ra., Mujahid dan lain-lain.



Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat besar dan pakar dalam tafsir Al Qur’an….Mujahid adalah seorang tabi’în agung…Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf…



 Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat Hadits qudsi: -

“Hai anak Adam, Aku sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] ber- kata, ‘Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul ‘Âlamîin?’ Allah menjawab, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…“ (HR. Muslim,4/1990, Hadits no.2569)



Apakah boleh kita mengatakan; Kita akan menetapkan bagi Allah sifat sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita ( makhluk-Nya)? Bolehkah kita meyakini menurut dhahir/lahir kalimat tanpa memasukkan unsur kiasan jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit, dan Dia akan berada di sisi si hamba yang sakit itu? Pasti tidak boleh !!



Bahkan kita berhak mengatakan bahwa siapa saja yang mensifati Allah dengan Sakit atau Dia sedang Sakit dia benar-benar telah kafir! Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti orang pertama/aku/si pembicara yaitu Allah. Jadi berdasarkan dhahir tekts dalam hadits itu, Allah-lah yang sakit. Tetapi pastilah dhahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus dita’wîl. Demikian pandangan setiap orang berakal. Dan ini adalah sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan ta’wîl kepada kita.



Jadi makna hadits di atas menurut para ulama sebagaimana diuraikan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim sebagai berikut; “Para ulama berkata, ‘disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba sebagai tasyrîf, pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Para ulama berkata tentang maksud engkau akan dapati Aku di sisinya (ialah) engkau akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku… “ (Syarah Shahih Muslim,16/126)



Begitu juga dalam pembuktian bahwa Allah swt. berada/bersemayam di atas langit, kaum Mujassimah antara lain ulama madzhab Wahabi Nâshiruddîn al Albani dalam Mukhtashar al Uluw dan Syeikh as Sabt dalam kitab Ar Rahmân ’Alâ al Asryi Istawâ membawakan beberapa hadits, sebagiannya shahih sanadnya, sementara sebagian lainnya cacat secara kualitas sanad- nya (walaupun oleh sebagian ulama madzhab ini dianggap sebagai hadits shahih). Adapun hadits-hadits yang shahih sanadnya tidak jarang mereka salah dalam memaknainya, akibatnya mereka mempercayai kepada syubhat konsep Tajsîm dan Tasybîh. Untuk lebih jelasnya mari kita ikuti istidlâlh/ upaya pengajuan dalil oleh mereka.Hadis Pertama:َ



أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ ، يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً



“Tidaklah kalian percaya padaku, padahal aku ini kepercayaan yang dilangit, dimana khabar datang kepadaku pada pagi dan sore hari” (HR. Bukhari dan Muslim)



Setiap ayat/hadits yang menyebut kata: مَنْ فِى السَّمَاءuntuk Allah swt. maka yang dimaksud dalam bahasa orang-orang Arab (yang Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka) adalah makna majâzi/kiasan, yaitu berarti keagung an, kemuliaan dan ketinggian maknawi, bukan ketinggian hissi (material). Seorang pujangga Arab klasik bersyair:



علونا السماءَ مَجْد ُنا وجدودُنا*** و إِنَّا لنبغِي فوق ذلك مظهرا



Kami menaiki langit, kejayaan dan moyang kami*** dan kami menginginkan kemenangan di atas itu.



Jelas sekali bahwa yang dimaksud menaiki/meninggii langit bukan langit fisik di atas kita itu, akan tetapi langit kemuliaan dan keagungan. Demikianlah yang dimaksud dalam setiap nash yang datang dengan redaksi: مَنْ فِى السَّمَاء (andai ia shahih tentunya). Hal demikian dikarenakan dasar-dasar yang pasti dalam al-Qur’an dan as-Sunnah shahihah yang mengharuskan kita mensucikan Allah swt. dari sifat-sifat hakiki pada makhluk-Nya umpama; ber- semayam, bersentuhan dan bertempat di atas langit atau di atas bumi /ber tempat pada makhluk-Nya.



Hadits di atas dalam riwayat Bukhari dan Muslim, telah mengalami “olah kata” oleh perawi. Artinya si perawi meriwayatkannya dengan makna saja, ia tidak menghadirkan redaksi sebenarnya. Akan tetapi seperti telah kami singgung, kaum Mujassimah (golongan yang menjasmanikan Allah) lebih cenderung membuka mata mereka kearah hadits di atas ketimbang membuka mata mereka terhadap riwayat lain dari hadits yang juga diriwayat-kan Imam Bukhari. Coba perhatikan, dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat banyak redaksi periwayatan hadits di atas yang tersebar di beberapa tempat, akan tetapi tidak memuat kata: مَنْ فِى السَّمَاء yang tentunya tidak akan membantu kaum Mujassimah, karenanya hadits itu selalu dikesampingkan (tidak pernah mereka gubris). Perhatikan hadits di bawah ini:



فَمن يُطيعُ اللهَ إذا عصيْتُهُ، فَيَأْمَنُنِي على أهلِ الأرضِ ولا تَأْمَنُونِى؟!



“Siapakah yang mena’ati Allah jika aku (Nabi saw.) menentangnya?! Dia (Allah) mempercayaiku untuk mengurus penduduk bumi sedangkan kalian tidak mempercayaiku?!” Coba perhatikan redaksi hadits di atas, kemudian bandingkan dengan redaksi hadits sebelumnya yang juga diriwayatkan Bukhari!



Al-Hâfidz Ibnu Hajar al-Asqallani mengomentari hadits tersebut dengan kata-katanya, “Nanti akan dibicarakan makna sabda (kata-kata): مَنْ فِى السَّمَاء pada Kitab at-Tauhid. Kemudian seperti beliau janjikan, beliau menguraikan makna kata tersebut:



“Al-Kirmâni berkata, ‘Sabda: مَنْ فِى السَّمَاءmakna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian Dzat dan sifat-Nya.’ Dan seperti inilah para ulama selainnya menjawab/menerangkan setiap kata yang datang dalam nash yang menyebut kata atas dan semisalnya.” (Fathu al Bâri,28/193)



Andai seorang mau merenungkan dan meresapi keterangan di atas pasti ia akan selamat dari syubhat kaum Mujassimah dan pemuja riwayat yang mutasyabihat yakni golongan al-hasyawiyah. Jadi para ulama telah mengarti- kan/memaknai hadits-hadits yang memuat redaksi yang mengesankan keberadaan Allah swt. di sebuah tempat dengan pemaknaan yang sesuai dengan Kemaha Sucian dan Kemaha Agungan Allah swt.. Akan tetapi golongan Mujassimah dan mereka yang tertipu oleh syubhat kaum Mujasimah ini lebih tertarik mengemukakan hadits-hadits dengan redaksi yang mendukung konsep dan pandangan Tajsîm yang mereka yakini, walaupun mereka enggan disebut sebagai Pewaris Madzhab Mujassimah. Disamping yang telah dikemukakan tadi, masih banyak lagi hadits-hadits Shifat yang tidak tercantum disini yang ditakwil maknanya oleh para ulama pakar (antara lain Imam Bukhori, Muslim dan lainnya) sesuai dengan sifat Kemaha-Sucian dan Kemaha-Agungan Allah swt. Umpama lagi kata, و جاء رَبُّكَ arti secara bahasa; ‘Dan datanglah Tuhamu’ ,tapi ditakwil oleh para ulama pakar ialah: جاء ثوابُهُ artinya: ‘Datang pahala-Nya’. Dan kata الضحك atau يَضْحَكُ artinya secara bahasa tertawa tapi ditakwil oleh para ulama pakar berarti Rahmat dan ada lagi yang mengartikan kerelaan dan kebaikan balasan. Tertawa yang dialami manusia misalnya adalah dengan membuka mulut, dan tentunya makna ini mustahil disamakan maknanya atas Allah swt..



Nah kalau kita baca, bukankah banyak para ulama pakar memalingkan kata-kata yang dzahirnya menunjukkan tajsim dengan memaknai yang sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah swt.? Dengan menafsirkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah swt, maka tidak akan berlawanan dengan firman-firman Ilahi yang telah dikemukakan, (QS. Asy-Syuura [42]:11; QS Al-An’aam [6] : 103; QS Ash-Shaffaat [37] : 159) atau ayat-ayat lainnya yang serupa. Untuk lebih lengkapnya bacalah kitab Daf’u Syubahi At Tasybih bi Akuffi At-Tanzih karya Ibnu al-Jauzi, seorang ulama bermadzhab Imam Ahmad bin Hanbal, disana semua syubhat yang selama ini menghinggap dalam pikiran sebagian golongan muslimin, insya Allah tersingkap…. atau paling tidak mereka mengetahui dalil-dalil para ulama yang menentang aliran Mujassimah.



Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun di dalam masalah sifat”, beliau juga mengatakan, “Saya tidak menemu kan hingga saat sekarang ini seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat”, disertai dengan pengakuannya bahwa beliau telah merujuk seratus kitab tafsir. Tetapi nyatanya ada kalangan salaf yang berbeda pendapat! Disamping contoh yang telah dikemukakan diatas, kita ambil contoh riwayat Ath-Thabari berikut ini yang mana Ibnu Taimiyyah mengenai kitab tafsir Ath-Thabari mengatakan sebagai berikut, “Didalamnya tidak terdapat bid’ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang menjadi tertuduh.” (Al-Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, hal 51). Ketika kita merujuk kepada ayat kursi yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap termasuk salah satu ayat sifat yang terbesar, sebagaimana yang beliau katakan didalam kitab al-Fatawa al-Kabirah, jilid 6, hal 322.



– Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah swt. yang berbunyi, “Kursi Allah meliputi langit dan bumi”. Ath-Thabari berkata, “Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.’ Adapun riwayat lainnya yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya’ Bukankah kita melihat didalam firman-Nya, ‘Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya’”(Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 7).



Berikut ini contoh yang kedua, yang masih berasal dari kitab tafsir Ath-Thabari. Pada saat menafsirkan firman Allah swt. yang berbunyi, “Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar”, Ath-Thabari berkata, “Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.’ Sebagian mereka berpendapat, ‘Artinya ialah, ‘Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.’ Mereka menolak makna ‘Dia Mahatinggi dari segi tempat.’ Mereka mengatakan, ‘Dia tidak ada di suatu tempat’. Maknanya bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah swt. ada disebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain’”. (Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 9).



Demikianlah pendapat kalangan salaf, yang tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah swt., sementara Ibnu Taimiyyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah swt., didalam risalah yang ditujukannya bagi penduduk kota Hamah. Bahkan, tatkala beliau sampai kepada firman Allah swt. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah swt. bersemayam di atas ‘Arsy’ “, beliau mengatakan, “Sesungguhnya Dia berada diatas langit”. (Al-’Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, yang merupakan kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyyah, hal 329 - 332). Yang beliau maksud adalah ‘Tempat’.



Adapun didalam kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap juga sebagai kitab tafsir yang paling dapat dipercaya, disebutkan beberapa riwayat Ibnu Abbas yang telah disebutkan oleh Ath-Thabari di dalam kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu ‘Athiyyah memberikan komentar tentang beberapa riwayat yang disebutkan oleh Ath-Thabari, yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Taimiyyah, “Ini adalah perkataan-perkataan bodoh dari kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim, wajib hukumnya untuk tidak menceritakannya.” (Faidh al-Qadir, asy-Syaukani.) Berikut ini adalah bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya’ (QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. ar-Rahman: 27), dimana dengan perantaraan kedua ayat ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah swt. dalam arti yang sesungguhnya.



Ath-Thabari berkata, “Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, ‘kecuali wajah-Nya’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia. Sementara sebagian lain berkata bahwa maknanya ialah, kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka; ‘Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan.’” (Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal. 82). Al-Baghawai berkata, “Yang dimaksud dengan ‘kecuali wajah-Nya’ ialah ‘kecuali Dia’.

Ada juga yang mengatakan, ‘kecuali kekuasaan-Nya’”. Abul ‘lyalah berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” (Tafsir al-Baghawi).

Didalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, “Artinya ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’ “. Dari Mujahid yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya.’”



Dari Sufyan yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh’ “. Oleh karena itu –para ulama sezaman dengan Ibnu Taimiyyah– tidak tinggal diam atas perkataan-perkataannya (yang menyifati Allah swt. secara hakiki). Mereka memberi fatwa tentangnya dan memerintahkan manusia untuk menjauhinya. Dikarenakan keyakinan-keyakinan tajsim dan tasybih itu, akhirnya Ibnu Taimiyyah dipenjara, dilarang menulis didalam penjara, dan kemudian beliau meninggal dunia didalam penjara dikota Damaskus.



Banyak dari kalangan para ulama dan huffadz yang telah menulis kitab untuk membantah keyakinan-keyakinan beliau ini. Umpamanya, Adz-Dzahabi telah menulis surat kepadanya, yang berisi kecaman terhadapnya atas keyakinan-keyakin an yang dibawanya. Surat adz-Dzahabi tersebut cukup panjang, yang mana ‘Allamah al-Amini telah menukil surat adz-Dzahabi ini secara lengkap di dalam kitab al-Ghadir, jilid 7, hal 528, yang dia nukil dari kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil, karya al-Kautsari, hal.190.



Berdasarkan kaidah yang ditegakkan diatas pondasi Al Qur’an dan Sunnah yang telah dikemukakan, para sahabat, tabi’in dan para imam mujtahidin diatas methode inilah mereka berjalan dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan Shifat. Masih banyak lagi pendapat para ulama baik yang mentakwil maupun yang tidak mentakwil ayat-ayat atau hadits-hadits shifat itu yang tidak tercantum disini. Ulama yang tidak mentakwil hanya menyebutkan apa adanya tekts saja –yaitu menurut bacaannya saja– mereka menyerahkan kepada Allah swt. pe-makna-annya.



Catatan:

Para tokoh ulama Wahabiyah –seperti Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu– tidak meragukan sedikitpun keagungan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau dan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh ahli tafsir generasi tabi’în (Fathu al Majîd Syarah KItab at Tauhîd:405).. Ketika menyebut Mujahid misalnya, Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu Syeikh berkata: Mujahid adalah Syeikh, tokoh ahli tafsir, seorang Imam Rabbani, nama lengkapnya Mujahid ibn Jabr al Makki maula Bani Makhzûm. Fadhl ibn Maimûn berkata, ‘Aku mendengar Mujahid berkata, ‘Aku sodorkan mush-haf kepada Ibnu Abbas beberapa kali, aku berhenti pada setiap ayat, aku tanyakan kepadanya; tentang apa Dia (Allah) turun? Bagaimana Dia turun? Apa maknanya?. Ia (Mujahid) wafat tahun 102H pada usia 83 tahun, semoga Allah merahmatinya. Ibnu Abdil Wahhab sendiri telah berhujjah dan mengandalkannya dalam banyak masalah dalam kitab at-Tauhid-nya.



Dengan demikian ke-salaf-an mereka tidak diragukan bahkan diakui oleh golongan Wahabiyah sendiri! Jadi sekali lagi jelaslah bahwa metode takwîl telah dilakukan oleh para salaf. Dan diatas methode inilah para ulama, seperti Imam al-Asy’ari dan para pengikutnya berjalan. Jadi jika ada yang menuduh sikap mentakwil adalah sikap menyimpang dan berjalan diatas kesesatan faham Jahmiyah, dan ber-ilhad (secara bahasa berarti membelokkan/memiringkan) dalam ayat-ayat dan asmâ Allah sebagaimana yang dituduhkan kaum Wahabi –seperti Ibnu Utsaimin (Syarah Aqidah al Washit- hiyah: 58-63) dan kawan-kawannya– maka ia benar-benar dalam kekeliruan yang nyata!!



Demikianlah sebagian contoh tentang takwil ayat Ilahi dan masih banyak lagi arti ayat Ilahi yang ditakwil oleh para sahabat dan tabi’in yang tidak dikemukakan disini. Sebagaimana yang telah dikemukakan tadi bahwa madzhab Wahabi/Salafi untuk menetapkan kesucian Allah swt., mereka mengatakan; Allah swt. mempunyai jasmani namun tanpa bentuk, Allah mempunyai darah namun tanpa bentuk, Allah mempunyai daging namun tanpa bentuk, dan Allah mempunyai rambut namun tanpa bentuk dan sebagainya! Ini semua adalah keyakinan yang tidak benar!



Mari sekarang kita teliti lagi riwayat-riwayat berikut ini –jelas mengarah dan menunjukkan tajsim dan tasybih– yang mana golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya menyakini serta mempercayai adanya hadits mengenai Tajsim/ Penjasmanian dan Tasybih/ Penyerupaan Allah swt. sebagai makhluk-Nya secara hakiki/yang sebenarnya tapi tanpa bentuk (Bi la Kaif). Yang mana hal ini telah dibantah sendiri oleh Allah swt. Dalam (QS Asy-Syuura:11, QS Al-An’aam : 103, QS Ash-Shaffaat : 159) dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.



– Berkata Wahab bin Munabbih waktu ditanya oleh Jaad bin Dirham tentang asma wa sifat: Celaka engkau wahai Jaâd karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Jaâd, kalau saja Allah tidak mengkabar- kan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya. Bertakwalah engkau kepada Allah! (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 190)



– Abdullah ibn Ahmad rh. meriwayatkan, disertai dengan menyebut sanad-sanadnya. Beliau berkata, “Rasulallah saw. telah bersabda; ’Tuhan kita telah menertawakan keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang lainnya. Perawi berkata; ‘Saya bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah Tuhan tertawa?’ Rasulallah saw. menjawab, ‘Ya.’ Saya berkata, ‘Kita tidak ke hilangan Tuhan yang tertawa dalam kebaikan’ “. [Kitab as-Sunnah, hal. 54].



– Abdullah ibn Ahmad berkata, “Saya membacakan kepada ayahku. Lalu, dia menyebutkan sanadnya hingga kepada Sa’id bin Jubair yang berkata, Sesungguhnya mereka berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia mengatakan merah atau tidak?’ Saya berkata kepada Sa’id bin Jubair, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu zamrud dan naskah tulisan emas, yang Tuhan menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit dapat mendengar suara gerak pena-Nya.” [Kitab as-Sunnah, hal. 76].



– Abdullah ibn Ahmad berkata, “Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari Abi ‘Ithaq yang berkata, ‘Allah menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan punggungnya kebatu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa dapat mendengar bunyi pena Tuhannya, sementara tidak ada penghalang antara dirinya dengan Tuhannya kecuali sebuah tirai.’” [Kitab as-Sunnah, hal. 76].



Mari kita baca lagi riwayat lainnya dibawah ini yang menetapkan bahwa Allah mempunyai jari, dan mereka juga menetapkan bahwa di antara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah didalam kitab at-Tauhid dengan bersanad dari Anas bin Malik ra yang berkata;



– Rasulallah saw. telah bersabda; ‘Manakala Tuhannya menaiki gunung, Dia mengangkat jari kelingking-Nya, dan mengerutkan sendi jari kelingking nya itu, sehingga dengan begitu lenyaplah gunung.Humaid bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu akan menyampaikan hadits ini?’ Dia menjawab, ‘Anas menyampaikan hadits ini kepada kami dari Rasulallah, lalu kamu menyuruh kami untuk tidak menyampaikan Hadits ini?’ “ [Kitab at-Tauhid, hal 113; Kitab as-Sunnah, hal. 65]

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah swt. mempunyai tangan, tangan-Nya mempunyai jari, dan diantara jari-Nya itu ialah jari kelingking. Kemudian mereka juga mengatakan jari kelingking itu mempunyai sendi...!!



– Abdullah rh juga berkata, dengan bersanad dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw. yang bersabda;”Sesungguhnya kekasaran kulit orang Kafir panjangnya tujuh puluh dua hasta, dengan ukuran panjang tangan Yang Maha Perkasa.” [Kitab at-Tauhid, hal. 190]. Dari Hadits ini dapat dipahami, Tuhan mempunyai dua tangan, juga kedua tangan Tuhan mempunyai ukuran panjang tertentu. Karena jika tidak, maka tidak mungkin kedua tangan tersebut menjadi ukuran bagi satuan panjang.



– Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rh, dengan bersanad kepada Anas bin Malik yang berkata, “Rasulallah saw. telah bersabda, ‘Orang-orang kafir dilemparkan kedalam neraka. Lalu neraka berkata, ‘Apakah masih ada tambahan lagi ?, maka Allah pun meletakkan kaki-Nya kedalam neraka, sehingga neraka berkata, ‘Cukup, cukup’ “. [Kitab at-Tauhid, hal. 184].



– Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw. yang bersabda; “Neraka tidak menjadi penuh sehingga Allah meletakkan kaki-Nya kedalamnya. Lalu, nerakapun berkata, ‘Cukup cukup.’ Ketika itulah neraka menjadi penuh.” [Kitab at-Tauhid, hal. 184]. Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa Allah swt. mempunyai kaki.

Ada riwayat lebih jauh lagi dengan menetapkan bahwa Allah swt. mempunyai nafas. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, dengan bersanad kepada Ubay bin Ka’ab yang berkata, “Janganlah kamu melaknat angin, karena sesungguhnya angin berasal dari nafas Tuhan.” [Kitab as-Sunnah, hal. 190].



– Mereka juga menetapkan dan bahkan menyerupakan suara Allah dengan suara besi. Abdullah bin Ahmad, dengan sanadnya telah berkata, “Jika Allah berkata-kata menyampaikan wahyu, para penduduk langit mendengar suara bising tidak ubahnya suara bising besi di suasana yang hening.” [Kitab as-Sunnah, hal. 71].

Selanjutnya, riwayat berikut ini yang menetapkan bahwa Allah swt. duduk dan mempunyai bobot. Oleh karena itu, terdengar suara derit kursi ketika Allah sedang duduk diatasnya. Jika Allah tidak mempunyai bobot, lantas apa arti dari suara derit?



– Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, dengan bersanad dari Umar ra yang berkata, “Jika Allah duduk di atas kursi, akan terdengar suara derit tidak ubahnya seperti suara deritnya koper besi.” [Kitab as-Sunnah, hal.79]. Atau, tidak ubahnya seperti suara kantong pelana unta yang dinaiki oleh penunggang yang berat.

Beliau juga mengatakan, dengan bersanad kepada Abdullah ibn Khalifah, “Seorang wanita telah datang kepada Nabi saw. lalu berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah supaya Dia memasukkan saya kedalam surga.’ Nabi saw. berkata, Maha Agung Allah.’ Rasulallah saw. kembali berkata, ‘Sungguh luas kursi-Nya yang mencakup langit dan bumi. Dia mendudukinya, sehingga tidak ada ruang yang tersisa darinya kecuali hanya seukuran empat jari. Dan sesungguhnya Dia mempunyai suara tidak ubahnya seperti suara derit pelana tatkala dinaiki’ “. [Kitab as-Sunnah, hal. 81].



Ada riwayat yang mengatakan lebih dari itu umpama didalam sebuah hadits disebutkan, Allah swt. menciptakan Adam berdasarkan wajah-Nya, setinggi tujuh puluh hasta. Dengan demikian manusia akan membayangkan bahwa Allah swt. akan mempunyai wajah yang berukuran tingginya seperti wajah Adam as. Hadits-hadits diatas dan berikut ini juga tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya karena bertentangan dengan firman Allah swt..



Ada juga hadits yang menetapkan bahwa Allah swt. dapat dilihat, mempunyai tangan yang dingin dan sebagainya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, dengan bersanad kepada Ibnu Abbas yang berkata:



– Rasulallah saw. telah bersabda, “Aku melihat Tuhanku dalam bentuk-Nya yang paling bagus. Lalu Tuhanku berkata, ‘Ya Muhammad.’ Aku menjawab, ‘Aku datang memenuhi seruan-Mu.’ Tuhanku berkata lagi, ‘Dalam persoalan apa malaikat tertinggi bertengkar’? Aku menjawab, ‘Aku tidak tahu, wahai Tuhanku.’ Rasulallah saw. melanjutkan sabdanya, ‘Kemudian Allah meletakkan tangan-Nya diantara dua pundak-ku, sehingga aku dapat merasakan dinginnya tangan-Nya diantara kedua tetek-ku, maka akupun mengetahui apa yang ada di antara timur dan barat’ “. (Kitab at-Tauhid, hal. 217).



– Riwayat yang lebih aneh lagi Abdullah bin Ahmad juga berkata, sesungguhnya Abdullah bin Umar bin Khattab ra mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas ra., Abdullah bin Umar bertanya, ‘Apakah Muhammad telah melihat Tuhan-nya?’ Maka Abdullah bin Abbas pun mengirim surat jawaban kepadanya. Abdullah bin Abbas menjawab, ‘Benar.’ Abdullah bin Umar kembali mengirim surat untuk menanyakan bagaimana Rasulallah saw. melihat Tuhan-nya. Abdullah bin Abbas mengirim surat jawaban, ‘Rasulallah saw. melihat Tuhannya di sebuah taman yang hijau, dengan permadani dari emas. Dia tengah duduk di atas kursi yang terbuat dari emas, yang diusung empat orang malaikat. Seorang malaikat dalam rupa seorang laki-laki, seorang lagi dalam rupa seekor sapi jantan, seorang lagi dalam rupa seekor burung elang dan seorang lagi dalam rupa seekor singa.’” [Kitab at-Tauhid, hal. 194].



Dengan adanya riwayat-riwayat ini semua, jelas Allah swt. menjadi seorang makhluk –na’udzubillahi– yang mempunyai sifat-sifat hakiki/sebenarnya yang dimiliki oleh makhluk-Nya.

Semua riwayat hadits tersebut jelas menunjukkan tajsim atau tasybih Allah kepada makhluk-Nya dan hal itu bertentangan dengan firman Allah swt. yang telah dikemukakan tadi. Umpama saja riwayat-riwayat shohih maka makna yang berkaitan dengan shifat Allah swt. harus disesuaikan dengan ke Maha Sucian dan ke Maha Agungan-Nya!! Jika tidak demikian, maka jelas sekali riwayat-riwayat itu mengarah kepada sifat-sifat yang ada kepada Makhluk-Nya secara hakiki. Orang yang mempercayai hadits-hadits itu akan membayangkan Tuhannya –walaupun mereka ini berkata tidak mem- bayangkan-Nya– tentang bentuk jari kelingking Allah swt., kaki-Nya, wajah-Nya, berat-Nya dan lain sebagainya.



Marilah kita baca dibawah ini diskusi mengenai seputar sifat-sifat Allah antara seorang madzhab sunnah (lebih mudahnya kita juluki si A ) dengan salah seorang tokoh Wahabi/Salafi (kita juluki si B).Si A mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tersebut dalam hadits-hadits diatas ini, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan kesalahan keyakinan-keyakinan tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat.



Si A (madzhab sunnah) bertanya pada si B: Jika memang Allah swt. mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan mengkhayalkan-Nya? Dan dia pasti akan membayang- kan-Nya. Karena jiwa manusia tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini.”



Si B (madzhab Wahabi) menjawab: “Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya (bentuk Allah), namun dia tidak diperkenankan memberitahukannya!!”



Si A bertanya lagi: “Apa bedanya antara anda meletakkan sebuah berhala dihadapan anda dan kemudian anda menyembahnya dengan anda hanya membayangkan sebuah berhala dan kemudian menyembahnya?”.



Si B menjawab: “Ini adalah perkataan kelompok sesat semoga Allah mem- burukkan mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak mensifati-Nya dengan sifat-sifat seperti ini (mempunyai dua tangan, kaki dan lain-lain). Sehingga dengan demikian, mereka itu menyembah Tuhan yang tidak ada.”



Si A ini berkata lagi: “Sesungguhnya Allah yang Maha benar, Dia tidak dapat diliputi oleh akal, tidak dapat dicapai oleh penglihatan, tidak dapat ditanya dimana dan bagaimana, serta tidak dapat dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. Karena Dialah yang telah menciptakan dimana dan bagaimana. Segala sesuatu yang tidak dapat anda bayangkan itulah Allah, dan segala sesuatu yang dapat anda bayangkan adalah makhluk. Kami telah belajar dari para ulama dari keturunan Nabi saw. Mereka berkata, ‘Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meskipun dalam bentuk yang paling rumit, dia itu makhluk seperti kamu.’ Keseluruhan pengenalan Allah ialah ketidak mampuan mengenal-Nya.”



Si B berkata dengan penuh emosi, “Kami menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan itu cukup ! “ Demikianlah diskusi singkat ini.



Golongan Wahabi/Salafi berusaha memberikan pembenaran terhadap hadits-hadits mengenai penjasmanian/Tajsim dan penyerupaan/ Tasybih tersebut dengan alasan: “Tanpa bentuk (bi la kaif)”?! Sungguh benar apa yang dikatakan seorang penyair, “Mereka telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya namun mereka takut akan kecaman manusia maka oleh karena itu mereka pun menyembunyikannya dengan mengatakan tanpa bentuk (bila kaif)”. Pembenaran golongan Wahabi/Salafi mengenai riwayat penjasmanian Allah swt. yang telah diuraikan adalah bertentangan dengan ayat-ayat ilahi yang telah kita kemukakan tadi. Mereka hanya ingin bermain lidah saja yang mengatakan bahwa hadits-hadits ini benar tapi tanpa bentuk, karena riwayat-riwayat itu sudah jelas bagi orang yang berakal sebagai penetapan kepada makna yang hakiki/sebenarnya. Kata-kata meletakkan kaki, tangan, jari kelingking, duduk dan sebagainya yang disebutkan itu berarti mempunyai arti yang sudah dikenal yaitu penetapan tangan, kaki, jari kelingking dan duduk itu sendiri. Sehingga bila orang berkata si A duduk kita akan tahu bagaimana bentuknya duduk tersebut lain dengan berdiri. Tangan si A memegang pundak saya ini berarti penetapan bentuknya tangan itu sendiri. Jadi tidak bisa diartikan selain daripada Tajsim atau penjasmanian dan Tasybih/Penyerupaan Tuhan kepada makhluk-Nya. Na’udzubillah



Seorang madzhab sunnah pernah berdiskusi dengan salah seorang dosennya di kampus tentang seputar masalah duduknya Allah di atas ‘Arsy. Ketika si dosen terdesak dia mengemukakan alasan: “Kami hanya akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf, ‘Arti duduk (al-istiwa) diketahui, tapi bentuk (al-kaif) duduknya tidak diketahui, dan pertanyaan tentangnya adalah bid’ah.”. Seorang madzhab sunnah berkata kepadanya; “anda tidak menambahkan apa-apa kecuali kesamaran, dan anda hanya menafsirkan air dengan air setelah semua usaha ini.”



Dosen ini berkata, “Bagaimana mungkin, padahal diskusi demikian serius.” Madzhab sunnah ini mengatakan; “Jika arti duduk diketahui, maka tentu bentuknya pun diketahui juga. Sebaliknya, jika bentuk tidak diketahui, maka duduk pun tidak diketahui, karena tidak terpisah darinya. Pengetahuan tentang duduk adalah pengetahuan tentang bentuk itu sendiri, dan akal tidak akan memisahkan antara sifat sesuatu dengan bentuknya, karena keduanya adalah satu. Jika anda mengatakan si A duduk, maka ilmu anda tentang duduknya adalah tentang bentuk (kaiffiyah) duduknya. Ketika anda mengatakan, duduk di ketahui, maka ilmu anda tentang duduk itu adalah tentang bentuk duduk itu sendiri. Karena jika tidak, maka tentu terdapat pertentangan di dalam perkata an anda, yang mana pertentangan itu bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan pernyataan bahwa anda mengetahui duduk, namun pada saat yang sama anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui bentuknya.” Kemudian si Dosen pun terdiam beberapa saat, lalu dengan tergesa-gesa dia meminta izin untuk pergi.!!



Kesimpulan singkat mengenai keterangan mengenai tajsim dan tasybih yang perlu dipahami ialah :

(Dimensi) ruang/tempat, waktu, dan kesadaran adalah makhluk Allah. Allah tidak dibatasi ruang, waktu dan kesadaran makhluk. Bukankah Allah swt. sendiri telah berfirman: Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’ (QS Asy-Syuura :11); ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS Al-An’aam : 103); ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’.( QS Ash-Shaffaat:159) dan ayat-ayat lainnya. Ayat-ayat inilah sebagai dalil yang kuat bahwa Allah swt. tidak bisa disamakan atau disifatkan seperti makhluk-Nya. Nash-nash yang menyatakan sifat atau perbuatan Sang Pencipta tentunya harus dipahami dengan landasan dalil-dalil bahwa ruang, waktu, pikiran, dan kesadaran adalah makhluk Allah, sehingga harus dipahami bahwa Allah swt. bukan makhluk, memahami makna “sifat atau perbuatan Allah” itu tentu dalam pengertian memahami sesuatu yang diluar batas ruang, waktu, dan kesadaran. Jika memahami ayat-ayat shifat itu memakai bahasa majazi/kiasan adalah sesuatu yang dibolehkan dan diajarkan oleh Nabi saw.. Hal ini paling baik karena untuk menghidari orang terjerumus dalam mujassimah. Dengan meyakini ayat-ayat itu secara dzohir atau lahirnya ayat tanpa menjelaskan maknanya bahwa Allah swt. bukan seperti makhluk-Nya (tidak terikat waktu, ruang dan lain sebagai- nya ) orang bisa terjerumus kepada mujassimah.



Lebih mudahnya kami beri contoh, tatkala kita menyebutkan kata ‘Singa’ –yaitu berupa kata tunggal– maka dengan serta merta terbayang di dalam benak kita seekor binatang buas yang hidup dihutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk tarkibi (susunan kata) yang tidak mengandung qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari makna ifradi (tunggal). Seperti kalimat yang berbunyi, ‘Saya melihat seekor singa sedang memakan mangsanya di hutan”. Kata Singa disini maknanya adalah sama yaitu bingatang buas. Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, ‘Saya melihat singa sedang menyetir mobil ’. Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada didalam kalimat ini adalah arti kiasan yaitu seorang laki-laki pemberani, bukan berarti binatang buas. Inilah kebiasaan orang Arab didalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata; ‘Dia menjadi singa atas saya, namun di medan perang dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari karena suara terompet perang yang dibunyikan’.



Dari syair ini kita dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh dalam peperangan. Orang yang mengerti perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang merubah kalimat dengan sesuatu yang keluar dari makna dzahir perkataan.

Begitu juga susunan kata seperti, ‘Negeri ini berada didalam genggaman tangan Raja’. Orang akan memahami yang dimaksud kalimat ini ialah ‘Negeri ini berada dibawah kekuasaan dan kehendak Raja’. Susunan kata ini tetap sesuai atau tetap diucapkan meskipun pada kenyataannya Raja tersebut buntung tangannya. Jadi kata ‘genggaman tangan’ dalam kalimat ini sebagai kata kiasan/majazi yang harus disesuaikan maknanya.



Demikian juga halnya dengan ayat-ayat shifat Allah swt. (wajah-Nya, tangan-Nya, betis, turun, tertawa dan lain sebagainya) baik yang tertulis dalam Alqur’an maupun dalam Hadits, walaupun dhahir tektsnya tetap tertulis di dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi para sahabat dan ulama pakar menerangkan dan mensesuaikan maknanya dengan ke Maha Sucian dan keMaha Agungan-Nya atau diserahkan pe-makna-annya kepada Allah swt., untuk menghindari orang terjerumus dalam mujassimah.

Disini kita juga harus mencermati dan memahami dengan benar perkataan para imam seperti Imam Syafi’i dan para imam lainnya yang selalu dinukil oleh golongan Mujassimah. Apakah para imam itu menghendaki makna seperti golongan Mujassimah terjemahkan? Apakah jika para imam itu tidak melakukan takwil berarti mereka memaknainya seperti yang golongan Mujassimah terjemahkan?! Disinilah letak masalahnya! Para Ulama dalam menyikapi ayat-ayat/hadits-hadits shifat mempunyai beberapa tiga pendapat/aliran:

a). Ada golongan ulama mentafwidh artinya tidak berkomentar apapun, tidak memberikan arti apapun tentangnya. Mereka menyerahkan pe-makna-annya kepada Allah swt.. Artinya para ulama golongan ini tidak mau melibat kan diri dalam menafsirkannya, tafsirnya adalah bacaannya itu! Jadi gologan ulama ini tidak memiliki aliran tapi mereka ini tidak berarti menjadi menta’thil (menafikan) dari pensifatan! Itu hanya khayalan kaum mujassimah dan musyabbihah belaka!



b). Ada golongan ulama yang menakwilkannya, dengan penakwilan tertentu yaitu memberikan penafsiran yang sesuai dengan ke Mahasucian dan ke-Maha-agungan Allah swt., ini dibolehkan.



Golongan lainnya lagi mengartikan kata-kata shifat itu dengan arti yang hakiki/sesungguhnya seperti kata: Yanzilu diartikan turun secara hakiki, Yadun diartikan tangan secara hakiki, dhohika diartikan tertawa secara hakiki dan begitu seterusnya, yang semuanya ini tidak lain menjurus kepada tajsim dan tasybih Allah swt. kepada Makhluk-Nya. Karena secara bahasa dhahika itu tertawa, dan tertawa itu artinya jelas dalam kamus-kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Kata yanzilu secara bahasa artinya turun, dan turun itu meniscayakan adanya perpindahan dan perpindahan itu meniscayakan adanya gerak, dan gerak itu adalah konsekuensi dari sifat benda, itu jelas sekali ! Kalau kata yanzilu tanpa perpindahan dan gerak ya namanya bukan yanzilu! Itu berarti memaknai kata itu bukan dengan makna bahasa sesungguhnya! Wallahu a’lam.



Marilah kita baca dibawah ini sebagian isi khotbah Amirul Mukminin Imam Ali Bin Abi Thalib k.w. yang sangat bagus sekali mengenai sifat Allah swt. dari kitab Nahjul Balaqhoh terjemahan O.Hashem, Syarah oleh M.Hashem, Yapi 1990, Khotbah Pertama halaman 108-109 sebagai berikut:



“Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tidak terlukiskan oleh pembicara. Tidak terhitung nikmat-Nya oleh para penghitung. Hak-Nya akan pengabdian tidak akan terpenuhi oleh para pengupaya. Tidak dapat dicapai Dia oleh ketinggian intelek dan tidak pula terselami oleh pemahaman yang bagaimanapun dalamnya. Ia, yang sifat-Nya tiada terbatasi lukisan, pujian yang tepat tidaklah maujud (Maha ada). Sang waktu tidaklah dapat memberi batas, dan tidak kurun yang mengikat-Nya.

Pangkal agama adalah ma’rifat-Nya, dan kesempurnaan ma’rifat-Nya adalah membenarkan-Nya dan kesempurnaan iman kepada keesaan-Nya adalah ikhlas kepada-Nya, dan kesempurnaan ikhlas kepada-Nya, adalah menafikan sifat yang diberikan kepada-Nya, karena setiap sifat membuktikan bahwa ia bukanlah yang disifati dan setiap yang disifati membuktikan bahwa Ia bukanlah sifat.

Dan barangsiapa menyifatkan Allah yang Maha Suci, maka ia telah memberikan pasangan kepada-Nya. Dan barangsiapa memberi pasangan kepada-Nya maka ia telah menggandakan-Nya. Dan barangsiapa menggandakan-Nya, maka ia telah membagi-bagi-Nya. Dan barangsiapa membagi-Nya, maka ia telah berlaku jahil kepada-Nya. Dan barangsiapa berlaku jahil kepada-Nya berarti ia telah menunjuk-Nya. Dan barangsiapa menunjukkan-Nya, berarti telah memberi batas kepada-Nya. Dan barangsiapa membatasi-Nya, berarti memberi jumlah kepada-Nya.Dan barangsiapa berkata; ‘Di dalam apa Dia berada’ maka ia telah menyisipkan-Nya, dan barangsiapa berkata; ‘Di atas apa Dia berada’ maka sungguh Ia lepas dari hal tersebut.

Dia maujud, Maha ada, tetapi tidak muncul dari proses kejadian. Ia ada, tetapi tidak dari tiada. Ia bersama segala sesuatu, tapi tidak berdampingan. Dan Ia tidak bersama segala sesuatu, tanpa saling berpisahan. Ia bertindak, tetapi tidak berarti ia bergerak dan menggunakan alat. Ia Maha Melihat tapi tidak tergantung makhluk untuk dilihat. Ia Maha Esa dan tiada sesuatupun yang menemaninya, dan tidak merasa sepi karena ketiadaan”. Wallahu a’lam. Semoga kita semua diberi ampunan dan hidayah dari Allah swt. Amin

Sumber: http://www.everyoneweb.com/tabarruk/

0 comments:

Didukung Oleh - Luqman Al-Farouq Muhammad | Makassar, South Sulawesi