Sunday, August 2, 2009

NAMA-NAMA SEBAGIAN ULAMA PENGERITIK AL-ALBANI

Syekh Al-Albani sering juga mengeritik para ulama lainnya diantaranya beliau juga mengeritik buku Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq dan buku At-Tajj Al Jaami’ Lil Ushuuli Fii Ahadadiitsir Rasuuli oleh Syeikh Manshur Ali Nashif Al-Husaini. Al-Albani sering menyalahkan dan menolak hadits-hadits yang banyak diketengahkan oleh ulama-ulama pakar ahli hadits baik secara langsung maupun tidak langsung. Dia mendudukkan dirinya sebagai sumber yang tidak pernah dikalahkan. Dia selalu meniru kata-kata ulama pakar dalam menyelidiki suatu hadits yaitu Lam aqif ala sanadih artinya saya tidak menemukan rantaian sanadnya atau kata-kata yang serupa ! Disamping kritikan diatas ini, tidak kurang para ulama-ulama lainnya yang mengeritik Syekh Al-Albani ini yang saya dapati dari internet diantaranya adalah sebagai berikut :

 Sarjana ahli hadits India yang bernama Habib al-Rahman al-A`zami telah menulis buku yang berjudul al-Albani Shudhudhuh wa Akhta'uh (Kekhilafan dan Kesalahan Al-Albani) dalam empat jilid.


 Sarjana Syria yang bernama Muhammad Sa`id Ramadan al-Buuti menulis dalam dua buku klasiknya yang berjudul al-Lamadhhabiyya Akhtaru Bid`atin Tuhaddidu al-Shari`a al-Islamiyya ("Not Following A School of Jurisprudence is the Most Dangerous Innovation Threatening Islamic Sacred Law") dan al-Salafiyya Marhalatun Zamaniyyatun Mubaraka La Madhhabun Islami ("The `Way of the Early Muslims' Was A Blessed Historical Epoch, Not An Islamic School of Thought").

 Sarjana hadits dari Marokko yang bernama `Abd Allah ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-Ghumari buku-bukunya yang berjudul e Irgham al-Mubtadi` al-Ghabi bi Jawaz al-Tawassul bi al-Nabi fi al-Radd `ala al-Albani al-Wabi; ("The Coercion of the Unintelligent Innovator with the Licitness of Using the Prophet as an Intermediary in Refutation of al-Albani the Baneful"), al-Qawl al-Muqni` fi al-Radd `ala al-Albani al-Mubtadi` ("The Persuasive Discourse in Refutation of al-Albani the Innovator"), dan Itqan al-Sun`a fi Tahqiq Ma`na al-Bid`a ("Precise Handiwork in Ascertaining the Meaning of Innovation").

 Sarjana hadits dari Marokko yang bernama `Abd al-`Aziz ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-Ghumari bukunya berjudul Bayan Nakth al-Nakith al-Mu`tadi ("The Exposition of the Treachery of the Rebel").

 Sarjana Hadits dari Syria yang bernama `Abd al-Fattah Abu Ghudda bukunya yang berjudul Radd `ala Abatil wa Iftira'at Nasir al-Albani wa Sahibihi Sabiqan Zuhayr al-Shawish wa Mu'azirihima ("Refutation of the Falsehoods and Fabrications of Nasir al-Albani and his Former Friend Zuhayr al-Shawish and their Supporters").

 Sarjana hadits dari Mesir yang bernama Muhammad `Awwama bukunya berjudul Adab al-Ikhtilaf ("The Proper Manners of Expressing Difference of Opinion").

 Sarjana Mesir yang bernama Mahmud Sa`id Mamduh buku-bukunya berjudul Wusul al-Tahani bi Ithbat Sunniyyat al-Subha wa al-Radd `ala al-Albani ("The Alighting of Mutual Benefit and Confirmation that the Dhikr-Beads are a Sunna in Refutation of al-Albani") dan Tanbih al-Muslim ila Ta`addi al-Albani `ala Shohih Muslim ("Warning to the Muslim Concerning al-Albani's Attack on Shohih Muslim").

 Sarjana hadits dari Saudi Arabi yang bernama Isma`il ibn Muhammad al-Ansar buku-bukunya yang berjudul Ta`aqqubat `ala "Silsilat al-Ahadith al-Da`ifa wa al-Mawdu`a" li al-Albani ("Critique of al-Albani's Book on Weak and Forged Hadiths"), Tashih Sholat al-Tarawih `Ishrina Rak`atan wa al-Radd `ala al-Albani fi Tad`ifih ("Establishing as Correct the Tarawih Sholat in Twenty Rak`as and the Refutation of Its Weakening by al-Albani"), dan Ibahat al-Tahalli bi al-Dhahab al-Muhallaq li al-Nisa' wa al-Radd `ala al-Albani fi Tahrimih ("The Licitness of Wearing Gold Jewelry for Women Contrary to al-Albani's Prohibition of it"). –

 Sarjana Syria Badr al-Din Hasan Diab bukunya berjudul Anwar al-Masabih `ala Zulumat al-Albani fi Sholat al-Tarawih ("Illuminating the Darkness of al-Albani over the Tarawih Prayer"). ----- Direktur dari Pensubsidian Keagamaan (The Director of Religious Endowments) di Dubai, yang bernama `Isa ibn `Abd Allah ibn Mani` al-Himyari buku bukunya yang berjudul al-I`lam bi Istihbab Shadd al-Rihal li Ziyarati Qabri Khayr al-Anam ("The Notification Concerning the Recommendation of Travelling to Visit the Grave of the Best of Creation) dan al-Bid`a Al-Hasana Aslun Min Usul al-Tashri` ("The Excellent Innovation Is One of the Sources of Islamic Legislation"). - Menteri Agama dan Subsidi dari Arab Emiraat (The Minister of Islamic Affairs and Religious Endowments in the United Arab Emirates) yang bernama Shaykh Muhammad ibn Ahmad al-Khazraji yang menulis artikel al-Albani: Tatarrufatuh ("Al-Albani's Extremist Positions").

 Sarjana dari Syria yang bernama Firas Muhammad Walid Ways dalam edisinya yang berjudul Ibn al-Mulaqqin's Sunniyyat al-Jumu`a al-Qabliyya ("The Sunna Prayers That Must Precede Sholat al-Jumu`a").

 Sarjana Syria yang bernama Samer Islambuli bukunya yang berjudul al-Ahad, al-Ijma`, al-Naskh.

 Sarjana Jordania yang bernama As`ad Salim Tayyim bukunya yang berjudul Bayan Awham al-Albani fi Tahqiqihi li Kitab Fadl al-Sholat `ala al-Nabi.

 Sarjana Jordania Hasan `Ali al-Saqqaf menulis dua jilid yang berjudul Tanaqudat al-Albani al-Wadiha fi ma Waqa`a fi Tashih al-Ahadith wa Tad`ifiha min Akhta' wa Ghaltat ("Albani's Patent Self-Contradictions in the Mistakes and Blunders He Committed While Declaring Hadiths to be Sound or Weak"), dan tulisan-tulisannya yang lain ialah Ihtijaj al-Kha'ib bi `Ibarat man Idda`a al-Ijma` fa Huwa Kadhib ("The Loser's Recourse to the Phrase: `Whoever Claims Consensus Is a Liar!'"), al-Qawl al-Thabtu fi Siyami Yawm al-Sabt ("The Firm Discourse Concerning Fasting on Saturdays"), al-Lajif al-Dhu`af li al-Mutala`ib bi Ahkam al-I`tikaf ("The Lethal Strike Against Him Who Toys with the Rulings of I`tikaf), Shohih Sifat Sholat al-Nabi Sallallahu `alayhi wa Sallam ("The Correct Description of the Prophet's Prayer "), I`lam al-Kha'id bi Tahrim al-Qur'an `ala al-Junub wa al-Ha'id ("The Appraisal of the Meddler in the Interdiction of the Qur'an to those in a State of Major Defilement and Menstruating Women"), Talqih al-Fuhum al-`Aliya ("The Inculcation of Lofty Discernment"), dan Shohih Sharh al-`Aqida al-Tahawiyya ("The Correct Explanation of al-Tahawi's Statement of Islamic Doctrine").

Dan masih banyak ulama berbeda madzhab yang mengeritik kekhilafan dan kesalahan Syekh Al-Albani dan pengikut madzhab Wahabi ini yang tidak tercantum disini. Kalau kita baca diatas, banyak ulama dari bermacam-macam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) mengeritik kekhilafan dan kesalahan ulama madzhab Wahabi, khususnya Syeikh al-Albani, maka kita akan bertanya sendiri apakah bisa beliau ini dikatagorikan sebagai Imam Muhadditsin (Imamnya para ahli hadits) pada zaman sekarang ini sebagaimana yang dijuluki oleh sebagian golongan Salafi/Wahabi? Memang ada ulama-ulama yang memuji Syekh Al-Albani ini dan memuji ulama gologan Salafi/Wahabi lainnya, tapi ulama-ulama yang memuji ini semuanya semadzhab dan sejalan dengan golongan Wahabi/Salafi.

Sudah tentu kita tidak jujur kalau mengatakan bahwa semua pendapat/ faham golongan Salafi/Wahabi yang engaku sebagai penerus akidah dari Ibnu Taimiyyah atau Muhammad Ibnul Wahhab ini salah dan disangkal oleh ulama-ulama pakar lainnya, tapi ada juga pendapat-pendapat mereka mengenai syariat Islam yang sepaham dengan ulama-ulama madzhab lainnya. Yang sering disangkal tidak lain pendapatnya mengenai tajsim dan tasybih Allah swt.(akidah tauhid) dengan makhluk-Nya, yang mana hal ini bertentangan dengan firman-firman Allah swt. dan sunnah Rasulallah saw.

Disamping itu yang sering disangkal juga oleh para ulama madzhab sunnah mengenai akidah dan pendapat mereka yang membid’ahkan sesat, sampai-sampai berani mensyirikkan tawassul, tabarruk pada pribadi orang baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, ziarah kubur, peringatan keagamaan, kumpulan majlis dzikir dan lain sebagainya (baca keterangan tersendiri mengenai bab-bab ini). Padahal semuanya ini mustahab untuk diamalkan serta tidak keluar dari syariat agama malah banyak dalil shohih baik secara langsung maupun tidak secara langsung yang menganjurkan amalan-amalan tersebut. Setiap Muslim boleh memohon pertolongan dan bertawassul, bertabarruk kepada para Nabi, wali Allah didalam setiap urusan, baik yang gaib maupun yang materi, dengan menjaga dan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Sekali lagi kami cantumkan sebagian judul buku dan nama-nama ulama yang mengeritik akidah atau keyakinan golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya, bukan ingin mencari kesalahan lawan atau ingin membongkar rahasia kekurangannya, tapi ingin menjelaskan para pembaca mengapa golongan Wahabi/Salafi selalu berani mensesatkan, mencela madzhab selain madzhabnya yang tidak sependapat dengan paham mereka. Tidak lain karena paham atau keyakinan mereka ini berbeda dengan madzhab-madzhab lainnya !

Sebenarnya berbeda pendapat antara madzhab atau golongan muslimin atau antara para ulama itu selalu ada, karena masing-masing mempunyai sudut pandang yang tersendiri. Umpamanya satu hadits didhoifkan oleh satu ulama, tapi hadits ini bisa juga oleh ulama’ lainnya dishohihkannya. Yang kita sesalkan dan sayangkan golongan Salafi/Wahabi dan pengikutnya sering menyalahkan, mensesatkan sampai-sampai berani mengkafirkan golongan muslimin lainnya karena tidak sepaham atau sependapat dengan mereka ini dan mereka merasa yang paling pandai, murni dan.....dalam syari’at Islam !.

Kita cukupkan sampai disini pembahasan mengenai seputar paham/ke yakinan golongan Wahabi/Salafi. Diskusi dengan mereka memerlukan waktu yang panjang dan membutuhkan kitab yang tersendiri. Para ulama telah mem- bantah ajaran golongan Wahabi/Salafi didalam berpuluh-puluh kitab dan makalah yang mereka tulis. ‘Allamah Muhsin Amin telah membantah keyakinan-keyakinan Wahabi melalui syairnya yang panjang, yang terdiri dari 546 bait. Silahkan Anda rujuk di dalam kitabnya yang berjudul Kasyf al-Irtiyab fi atba ‘i Muhammad bin Abdul Wahhab. Banyak sekali kitab ulama dari berbagai madzhab (Hanafi, Malik Syafii dan lain lain) yang menyangkal golongan Wahabi/Salafi. Sanggahan para ulama mengenai akidah ulama-ulama golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya para pembaca bisa membaca sendiri dan memilih judulnya yang bersangkutan dengan akidah golongan ini dan pengikutnya dalam website bahasa Indonesia:
www.abusalafy.wordpress.com dan dalam bahasa Inggris www.ummah.net/Al_adaab/radd_ul_salafiyya.html. Sebagian isi makalah dari bab ini kami kutip dan kumpulkan antara lain dari situs abu salafy (2007-2008) sebagai penulisnya saudara Sastro H dan website-website lainnya. Semoga Allah swt. memberi hidayah dan taufiq serta diampunkan dosa-dosa kita. Amin

Sumber: http://www.everyoneweb.com/tabarruk/

Baca Selengkapnya......

AL-ALBANI MELEMAHKAN BEBERAPA HADITS DARI IMAM BUKHORI DAN IMAM MUSLIM.

Mari kita sekarang meneliti sebagian pilihan/seleksi isi buku Syeikh Saqqaf tentang kesalahan-kesalahan al-Albani yang kami kutip bahasa Inggrisnya dan kami terjemahkan serta susun semampunya dari versi bahasa Inggris dengan judul ‘Al-Albani’s Weakening of Some of Imam Bukhari and Muslim’s Ahadit. Kitab asli bahasa Arabnya berjudul ‘Tanaqadat al-Albani al-Wadihat’ (Kontradiksi yang nyata/ jelas pada Al-Albani) oleh Syeikh Saqqaf, Amman, Jordania.

AL-ALBANI'S WEAKENING OF SOME OF IMAM BUKHARI AND MUSLIM'S AHADITH.
Al-Albani melemahkan beberapa hadits dari Imam Bukhori dan Imam Muslim.

Al-Albani has said in "Sharh al-Aqeedah at-Tahaweeah, pg. 27-28" (8th edition, Maktab al-Islami) by Shaykh Ibn Abi al-Izz al-Hanafi (Rahimahullah), that any Hadith coming from the Shohih collections of al-Bukhari and Muslim is Shohih, not because they were narrated by Bukhari and Muslim, but because the Ahadith are in fact correct. But he clearly contradicts himself, since he has weakened Ahadith from Bukhari and Muslim himself! Now let us consider this information in the light of elaboration :-

Syekh Al-Albani telah berkata didalam Syarh Al-Aqidah at-Tahaweeah hal.27-28 cet.ke 8 Maktab Al-Islami oleh Sjeik Ibn Abi Al-Izz Al-Hanafi (Rahimahullah). “Hadits-hadits shohih yang dikumpulkan oleh Bukhori dan Muslim bukan karena diriwayatkan oleh mereka tapi karena hadits-hadits tersebut sendiri shohih”. !
Tetapi dia (Albani) telah nyata berlawanan dengan omongannya sendiri karena pernah melemahkan hadits dari dua syeikh tersebut. Mari kita lihat beberapa hadits dari Imam Bukhori dan Imam Muslim yang dilemahkan oleh Syekh al-Albani keterangan berikut ini :

Selected translations from volume 1.
Terjemahan-terjemahan yang terpilih dari jilid (volume) 1.

No.1: (*Pg. 10 no. 1 ) Hadith: The Prophet (Sall Allahu alaihi wa Aalihi wa Sallim) said: "Allah says I will be an opponent to 3 persons on the day of resurrection: (a) One who makes a covenant in my Name but he proves treacherous, (b) One who sells a free person (as a slave) and eats the price (c) And one who employs a laborer and gets the full work done by him, but doesn't pay him his wages." [Bukhari no 2114-Arabic version, or see the English version 3/430 pg 236]. Al-Albani said that this Hadith was DAEEF in "Daeef al-Jami wa Z iyadatuh, 4/111 no. 4054". Little does he know that this Hadith has been narrated by Ahmad and Bukhari from Abu Hurayra (Allah be pleased with him)!!

No.1: (Hal. 10 nr.1) Sabda Rasulallah saw. bahwa Allah swt.berfirman: Aku musuh dari 3 orang pada hari kebangkitan ; a) Orang yang mengadakan perjanjian atas NamaKu, tetapi dia sendiri melakukan pengkhianatan atasnya b) Orang yang menjual orang yang merdeka sebagai budak dan makan harta hasil penjualan tersebut c) orang yang mengambil buruh untuk dikerjakan dan bekerja penuh untuk dia, tapi dia tidak mau membayar gajihnya. (Bukhori no.2114 dalam versi bahasa Arab atau dalam versi bahasa Inggris 3/430 hal. 236). Al-Albani berkata dalam Dhaif Al-jami wa Ziyadatuh 4/111 nr. 4054. bahwa hadits ini lemah. Dia (Al-Albani) memahami hanya sedikit tentang hadits, hadits diatas ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhori dari Abu Hurairah ra.

No.2: (*Pg. 10 no. 2 ) Hadith: "Sacrifice only a grown up cow unless it is difficult for you, in which case sacrifice a ram." [Muslim no. 1963-Arabic edition, or see the English version 3/4836 pg. 1086]. Al-Albani said that this Hadith was DAEEF in "Daeef al-Jami wa Ziyadatuh, 6/64 no. 6222." Although this Hadith has been narrated by Imam's Ahmad, Muslim, Abu Dawood, Nisai and Ibn Majah from Jaabir (Allah be pleased with him)!!

No.2: (Hal. 10 nr.2) Hadits : “Korbanlah satu sapi muda kecuali kalau itu sukar buatmu maka korbanlah satu domba jantan” ( Muslim nr.1963 dalam versi bahasa Arab yang versi bahasa Inggris 3/4836 hal.1086). Al-Albani berkata Daeef Al-Jami wa Ziyadatuh, 6/64 nr. 6222 bahwa hadits ini lemah. Walaupun hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir ra.

No.3: (*Pg. 10 no. 3 ) Hadith: "Amongst the worst people in Allah's sight on the Day of Judgement will be the man who makes love to his wife and she to him, and he divulges her secret." [Muslim no. 1437- Arabic edition]. Al-Albani claims that this Hadith is DAEEF in "Daeef al-Jami wa Ziyadatuh, 2/197 no. 2005." Although it has been narrated by Muslim from Abi Sayyed (Allah be pleased with him)!!

No.3: (Hal.10 nr.3) Hadits: ‘Termasuk orang yang paling buruk dan Allah swt. akan mengadilinya pada hari pembalasan yaitu suami yang berhubung- an dengan isterinya dan isteri berhubungan dengan suaminya dan dia menceriterakan rahasia isterinya (pada orang lain) ‘ (Muslim nr.1437 penerbitan dalam bahasa Arab). Al-Albani menyatakan dalam Daeef Al-Jami wa Ziyadatuh, 2/197 nr. 2005 bahwa hadits ini lemah. Walaupun hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Sayyed ra.

No.4: (*Pg. 10 no. 4 ) Hadith: "If someone woke up at night (for prayers) let him begin his prayers with 2 light rak'ats." [Muslim no. 768]. Al-Albani stated that this Hadith was DAEEF in "Daeef al-Jami wa Ziyadatuh, 1/213 no. 718." Although it is narrated by Muslim and Ahmad from Abu Hurayra (may Allah be pleased with him)!!

No.4: (Hal.10 nr.4) Hadits: “Bila seorang bangun malam (untuk sholat), maka mulailah sholat dengan 2 raka’at ringan” (Muslim nr. 768). Al-Albani dalam Daeef Al-Jami wa Ziyadatuh, 1/213 nr. 718 menyatakan bahwa hadits ini lemah. Walaupun hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah.

No.5: (*Pg. 11 no. 5 ) Hadith: "You will rise with shining foreheads and shining hands and feet on the Day of Judgement by completing Wudhu properly. . . . . . . ." [Muslim no. 246]. Al-Albani claims it is DAEEF in "Daeef al-Jami wa Ziyadatuh, 2/14 no. 1425." Although it has been narrated by Muslim from Abu Hurayra (Allah be pleased with him)!!

No.5: (Hal.11 nr. 5) Hadits: ‘Engkau akan naik keatas dihari kiamat dengan cahaya dimuka, cahaya ditangan dan kaki dari bekas wudu’ yang sempurna’ (Muslim nr 246). Al-Albani dalam Daeef Al-Jami wa Ziyadatuh, 2/14 nr. 1425 menyatakan bahwa hadits ini lemah. Walaupun hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah.

No.6: (*Pg. 11 no. 6 ) Hadith: "The greatest trust in the sight of Allah on the Day of Judgement is the man who doesn't divulge the secrets between him and his wife." [Muslim no's 124 and 1437] Al-Albani claims it is DAEEF in "Daeef al-Jami wa Ziyadatuh, 2/192 no. 1986." Although it has been narrated by Muslim, Ahmad and Abu Dawood from Abi Sayyed (Allah be pleased with him)!!

No.6: (Hal.11 nr. 6) Hadits: ‘orang yang dimuliakan disisi Allah pada hari pembalasan (kiamat) ialah yang tidak membuka rahasia antara dia dan isterinya’. (Muslim nr.124 dan 1437). Al-Albani dalam Dhaeef Al-Jami wa Ziyadatuh, 2/192 nr. 1986 menyatakan bahwa hadits ini lemah. Walaupun hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan Abu Daud dari Abi Sayyed.

No.7: (*Pg. 11 no. 7 )Hadith: "If anyone READS the last ten verses of Surah al-Kahf he will be saved from the mischief of the Dajjal." [Muslim no. 809]. Al-Albani said that this Hadith was DAEEF in "Daeef al-Jami wa Ziyadatuh, 5/233 no. 5772."
NB- The word used by Muslim is MEMORIZED and not READ as al-Albani claimed; what an awful mistake! This Hadith has been narrated by Muslim, Ahmad and Nisai from Abi Darda (Allah be pleased with him)!! (Also recorded by Imam Nawawi in "Riyadh us-Saliheen, 2/1021" of the English ed'n).

No.7: (Hal.11 nr.7) Hadits: ‘Siapa yang membaca 10 surah terakhir dari Surah Al-Kahfi, akan dilindungi dari kejahatan Dajjal ‘ (Muslim nr. 809). Al-Albani dalam Daeef Al-Jami wa Ziyadatuh, 5/233 nr. 5772 menyatakan hadits ini lemah. Walaupun hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan Nasa’i dari Abi Darda ra. juga dikutip oleh Imam Nawawi dalam Riyadhos Sholihin 2/1021 dalam versi Inggris).
NotaBene: Didalam riwayat Muslim disebut Menghafal (10 surat terakhir Al-Kahfi) bukan Membaca sebagaimana yang dinyatakan Al-Albani, ini adalah kesalahan yang nyata !

No.8: (*Pg. 11 no. 8 ) Hadith: "The Prophet (Sall Allahu alaihi wa Aalihi wa Sallim) had a horse called al-Laheef." [Bukhari, see Fath al-Bari of Hafiz Ibn Hajar 6/58 no. 2855]. But Al-Albani said that this Hadith was DAEEF in "Daeef al-Jami wa Ziyadatuh, 4/208 no. 4489." Although it has been narrated by Bukhari from Sahl ibn Sa'ad (Allah be pleased with him)!!! Shaykh Saqqaf said: "This is only anger from anguish, little from a lot and if it wasn't for the fear of lengthening and boring the reader, I would have mentioned many other examples from al-Albani's books whilst reading them. Imagine what I would have found if I had traced everything he wrote?"

AL-ALBANI'S INADEQUACY IN RESEARCH (* Vol. 1 pg. 20) Shaykh Saqqaf said: "The strange and amazing thing is that Shaykh l-Albani misquoted many great Hadith scholars and disregards them by his lack of knowledge, either directly or indirectly! He crowns himself as an unbeatable source and even tries to imitate the great scholars by using such terms like "Lam aqif ala sanadih", which means "I could not find the chain of narration", or using similar phrases! He also accuses some of the best memorizers of Hadith for lack of attention, even though he is the one best described by that!"

No. 8 (Hal.11 nr. 8) Hadits: Rasulallah saw. mempunyai seekor kuda bernama Al Laheef’’ (Bukhori, lihat Fath Al-Bari oleh Hafiz ibn Hajar 6/58 nr.2855). Tapi Al-Albani dalam "Daeef Al-Jami wa Ziyadatuh, 4/208 nr. 4489 berkata bahwa hadits ini lemah. Walaupun diriwayatkan oleh Bukhori dari Sahl Ibn Sa’ad ra.
Syeikh Segaf berkata : Ini hanya marah dari sakit hati ! Kalau tidak karena takut terlalu panjang dan pembaca menjadi bosan karenanya saya akan sebutkan banyak contoh-contoh dari buku-buku Al-Albani ..............)

AL-ALBANI TIDAK SESUAI DALAM PENYELIDIKANNYA (jilid 1 hal.20) Syeikh Seggaf berkata: ‘ Sangat heran dan mengejutkan, bahwa Syeikh Al-Albani menyalahkan dan menolak hadits-hadits yang banyak diketengahkan oleh ulama-ulama pakar ahli hadits baik secara langsung atau tidak secara langsung, tidak lain semuanya ini karena kedangkalan ilmu Al-Albani ! . Dia mendudukkan dirinya sebagai sumber yang tidak pernah dikalahkan. Dia sering meniru kata-kata para ulama pakar (dalam menyelidiki suatu hadits) ‘Lam aqif ala sanadih’ artinya ‘ Saya tidak menemukan rantaian sanadnya’ atau dengan kata-kata yang serupa. Dia juga menyalahkan beberapa ulama pakar penghafal Hadits yang terbaik untuk kurang perhatian, karena dia sendiri merasa sebagai penulis yang paling baik.

Now for some examples to prove our point:
Beberapa contoh-contoh bukti yang dimaksud berikut ini :

No.9: (* Pg. 20 no. 1 ) Al-Albani said in "Irwa al-Ghalil, 6/251 no. 1847" (in connection to a narration from Ali): "I could not find the sanad." Shaykh Saqqaf said: "Ridiculous! If this al-Albani was any scholar of Islam, then he would have known that this Hadith can be found in "Sunan al-Bayhaqi, 7/121" :- Narrated by Abu Sayyed ibn Abi Amarah, who said that Abu al-Abbas Muhammad ibn Yaqoob who said to us that Ahmad ibn Abdal Hamid said that Abu Usama from Sufyan from Salma ibn Kahil from Mu'awiya ibn Soayd who said, 'I found this in my fathers book from Ali (Allah be pleased with him).'"

No.9: (Hal. 20 nr.1) Al-Albani dalam "Irwa Al-Ghalil, 6/251 nr. 1847" berkata: (riwayat dari Ali): ‘ Saya tidak menemukan sanadnya”.
Syeikh Seggaf berkata: ‘Menggelikan! Bila Al-Albani ini orang yang terpelajar dalam Islam maka dia akan tahu bahwa hadits ini ada dalam Sunan Al-Baihaqi 7/121 diriwayatkan dari Abi Sayyed ibn Abi Amarah yang katanya bahwa Abu Al-Abbas Muhammad ibn Yaqub berkata pada kami bahwa Ahmad ibn Abdal Hamid berkata, bahwa Abu Usama dari Sufyan dari Salma ibn Kahil dari Mu’awiyah ibn Soayd berkata, Saya menemukan ini dalam buku ayah saya dari Ali kw.

No.10: (* Pg. 21 no. 2 ) Al-Albani said in 'Irwa al-Ghalil, 3/283': Hadith of Ibn Umar 'Kisses are usury,' I could not find the sanad." Shaykh Saqqaf said: "This is outrageously wrong for surely this is mentioned in 'Fatawa al-Shaykh ibn Taymiyya al-Misriyah (3/295)': 'Harb said Obaidullah ibn Mu'az said to us, my father said to me that Soayd from Jiballa who heard Ibn Umar (Allah be pleased with him) as saying: Kisses are usury.' And these narrators are all authentic according to Ibn Taymiyya!"

No.10: (Hal.21 nr.2) Al-Albani dalam 'Irwa Al-Ghalil, 3/283' berkata; Hadits dari Ibn Umar (Ciuman-ciuman adalah bunga yang tinggi [riba’) Saya tidak menemukan sanadnya.
Syeikh Seggaf berkata: Ini kesalahan yang sangat aneh ! Ini sudah ada didalam Fatwa Syeikh Ibn Taimiyya Al-Misriyah 3/295: “Harb berkata bahwa Ubaidullah ibn Mu’az berkata pada kita; ayah saya berkata bahwa Suaid dari Jiballa mendengar dari Ibn Umar ra berkata: ‘ Ciuman-ciuman itu adalah (bunga?) yang tinggi ‘ Dan perawi-perawi dapat dipercaya menurut Ibn Taimiyyah !

No.11: (* Pg. 21 no. 3 ) Hadith of Ibn Masood (Allah be pleased with him): "The Qur'an was sent down in 7 dialects. Everyone of its verses has an explicit and implicit meaning and every interdiction is learly defined." Al-Albani stated in his checking of "Mishkat ul-Masabih, 1/80 no. 238" that the author of Mishkat concluded many Ahadith with the words "Narrated in Sharh us-Sunnah," but when he examined the chapter on Ilm and in Fadail al-Qur'an he could not find it! Shaykh Saqqaf said: "The great scholar has spoken! Wrongly as usual. I wish to say to this fraud that if he is seriously interested in finding this Hadith we suggest he looks in the chapter entitled 'Al-Khusama fi al-Qur'an' from Sharh-us-Sunnah (1/262), and narrated by Ibn Hibban in his Shohih (no. 74), Abu Ya'ala in his Musnad (no.5403), Tahawi in Sharh al-Mushkil al-Athar (4/172), Bazzar (3/90 Kashf al-Asrar) and Haythami has mentioned it in Majmoo'a al-Zawaid (7/152) and he has ascribed it to Bazzar, Abu Ya'ala and Tabarani in al-Awsat who said that the narrators are trustworthy."

No.11: (Hal.21 nr.3) Hadits dari Ibn Mas’ud ra : ‘Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh (macam) bahasa, setiap ayat ada yang jelas dan ada yang kurang jelas dan setiap larangan itu jelas ....(ada batasnya) ‘ Al-Albani dalam Mishkat ul-Masabih, 1/80 nr. 238 menyatakan menurut penyelidikannya bahwa pengarang/penulis Mishkat memutuskan banyak hadits dengan kata-kata “diceriterakan/diriwayatkan dalam Syarh As Sunnah” tapi waktu dia (Albani) menyelidiki bab masalah Ilmu dan Keutamaan Al-Qur’an tidak menemukan hal itu !
Syeikh Seggaf berkata: ‘Ulama yang paling pandai telah berbicara kesalahan yang sudah biasa. Dengan kebohongan itu saya ingin mengata= kan, bila dia benar-benar tertarik untuk menemukan ini hadits, kami mengusulkan agar dia melihat dalam bab yang berjudul 'Al-Khusama fi Al-Qur'an van Sharh-us-Sunnah (1/262) dan diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam shohihnya nr. 74, Abu Ya’la dalam Musnadnya nr. 5403, Tahawi dalam Sharh Al Mushkil Al-Athar 4/172, Bazzar dalam Kash Al-Asrar 3/90, Haitami telah menyatakan dalam Majmu’a Al-Zawaid 7/152 dan dia merujuk kepada Bazzar, Abu Ya’la dan Tabrani dalam Al-Awsat yang berkata bahwa semua perawinya bisa dipercayai.

No.12: (* Pg. 22 no. 4 ) Al-Albani stated in his "Shohihah, 1/230" while he was commenting on Hadith no. 149: "The believer is the one who does not fill his stomach. . . . The Hadith from Aisha as mentioned by Al-Mundhiri (3/237) and by Al-Hakim from Ibn Abbas, I (Albani) could not find it in Mustadrak al-Hakim after checking it in his 'Thoughts' section." Shaykh Saqqaf said: "Please don't encourage the public to fall into the void of ignorance which you have tumbled into! If you check Mustadrak al-Hakim (2/12) you will find it! This proves that you are unskilled at using book indexes and the memorization of Hadith!"

No.12: (hal.22 nr.4) Al-Albani berkata dalam Shahiha, 1/230 waktu dia memberi komentar tentang hadits nr. 149; “ Orang yang beriman ialah orang yang perutnya tidak kenyang... “ hadits ini dari Aisyah yang disebutkan dalam Al-Mudhiri 3/237 dan Al-Hakim dari Ibn Abbas. Saya (Albani) tidak menemukan dalam Mustadrak Al-Hakim setelah penyelidikannya dan menurut pasal pikirannya.

Syeikh Seggaf berkata: Tolong jangan berani menjatuhkan masyarakat kepada kebodohan yang sia-sia, yang mana engkau sudah terperosok didalamnya! Kalau engkau akan mencari dalam Mustadrak Al-Hakim 2/12 maka dia akan engkau dapati ! Ini membuktikan bahwa engkau sendiri tidak ahli menggunakan buku index dan memberitakan dari Hadits.

No.13: (* Pg. 23 ) Another ridiculous assumption is made by al-Albani in his "Shohihah, 2/476" where he claims that the Hadith: "Abu Bakr is from me, holding the position of (my) hearing" is not in the book 'Hilya'. We suggest you look in the book "Hilya , 4/73!"

No.13: (Hal.23) Lebih menggelikan lagi dugaan yang dibuat oleh Al-Albani dalam Shohihah, 2/476 yang mana dia menyatakan bahwa hadits: ‘Abu Bakar dari saya dan dia menempati posisi saya’ tidak ada didalam ‘Hilya’. Saya usulkan agar anda melihat didalam "Hilya, 4/73 " !

No.14: (*Pg. 23 no. 5 )Al-Albani said in his "Shohihah, 1/638 no. 365, 4th edition": "Yahya ibn Malik has been ignored by the 6 main scholars of Hadith, for he was not mentioned in the books of Tahdhib, Taqreeb or Tadhhib." Shaykh Saqqaf: "That is what you say! It is not like that, for surely he is mentioned in Tahdhib al-Tahdhib of Hafiz ibn Hajar al-Asqalani (12/19 Dar al-Fikr edition) by the nickname Abu Ayoob al-Maraagi!! So beware!

No.14 (Hal.23 nr. 5) Al-Albani dalam "Shohihah, 1/638 nr. 365, cet.ke 4" mengatakan : Yahya Ibn Malik tidak dikenal/termasuk 6 ahli hadits karena dia ini tidak tercatat Tahdzib, Taqreeb dan Tadzhib.
Syeikh Seggaf berkata: ‘Itu menurut anda! Sebenarnya bukan begitu, nama julukannya ialah Abu Ayub Al-Maraagi dan ini ada didalam Tahdzib, Al-Tahdzib disebutkan oleh Hafiz ibn Hajar Al-Asqalani 12/19 cet.Dar Al-Fikr ! Hati-hatilah!

FURTHER EXAMPLES OF AL-ALBANI'S CONTRADICTIONS
MASIH BANYAK CONTOH KONTRADIKSI DARI AL-ALBANI !

No 15 : (* Pg. 7 )Al-Albani has criticized the Imam al-Muhaddith Abu'l Fadl Abdullah ibn al-Siddiq al-Ghimari (Rahimahullah) for mentioning in his book "al-Kanz al-Thameen" a Hadith from Abu Hurayra (Allah be pleased with him) with reference to the narrator Abu Maymoona: "Spread salaam, feed the poor. . . ."

Al-Albani said in "Silsilah al-Daeefa, 3/492", after referring this Hadith to Imam Ahmad (2/295) and others: "I say this is a weak sanad, Daraqutni has said 'Qatada from Abu Maymoona from Abu Hurayra: Unknown, and it is to be discarded.'" Al-Albani then said on the same page: "Notice, a slapdash has happened with Suyuti and Munawi when they came across this Hadith, and I have also shown in a previous reference, no. 571, that al-Ghimari was also wrong for mentioning it in al-Kanz." But in reality it is al-Albani who has become slapdashed, because he has made a big contradiction by using this same sanad in "Irwa al-Ghalil, 3/238" where he says, "Classified by Ahmad (2/295), al-Hakim . . . from Qatada from Abu Maymoona, and he is trusted as in the book 'al-Taqreeb', and Hakim said: 'A Shohih sanad', and al-Dhahabi agreed with Hakim! So, by Allah glance at this mistake! Who do you think is wrong, the Muhaddith al-Ghimari (also Suyuti and Munawi) or al-Albani?

No.15. (Hal.7) Al-Albani mengeritik Imam Al-Muhaddith Abu'l Fadl Abdullah ibn Al-Siddiq Al-Ghimari (Rahimahullah) waktu mengetengahkan hadits dari Abu Hurairah ra. dalam kitabnya Al-Kanz Al-Thameen yang bertalian dengan perawi Abu Maymuna ; ‘Sebarkan salam, beri makan orang-orang miskin..’

” Al-Albani berkata dalam Silsilah Al-Daifa, 3/492 setelah merujuk hadits ini pada Imam Ahmad 2/295 dan lain-lain : Saya berkata bahwa sanadnya lemah, Daraqutni juga berkata ‘Qatada dari Abu Maymoona dari Abu Hurairah tidak dikenal dan itu harus dikesampingkan “. Al-Albani berkata pada halaman yang sama; ‘Pemberitahuan, pukulan bagi Suyuti dan Munawi, waktu mereka menemukan hadits ini, dan saya juga telah menunjuk kan dalam referensi yang lalu nr. 571 bahwa Al-Ghimari itu telah salah menyebutkan (hadits) itu dalam Al-kanz.

Tetapi sebenarnya Al-Albani-lah yang terkena pukulan, sebab sangat bertentangan dengan perkataannya dalam Irwa Al-Ghalil, 3/238 yang meng gunakan sanad yang sama, katanya: ‘ Diklasifikasikan oleh Ahmad (2/295), al-Hakim....dari Qatada dari Abu Maymuna dan orang mepercayainya sebagaimana yang disebutkan didalam buku Al-Taqreeb dan Hakim berkata; Sanad yang shohih dan Al-Dhahabi sepakat dengan Hakim !
Begitulah Allah langsung melihatkan kesalahan tersebut ! Sekarang siapa- kah yang selalu salah; Ahli hadits( Al-Ghimari, Suyuti, Munawi) atau Al-Albani ?

No 16 : (* Pg. 27 no. 3 ) Al-Albani wanted to weaken a Hadith which allowed women to wear golden jewellery, and in the sanad for that Hadith there is Muhammad ibn Imara. Al-Albani claimed that Abu Haatim said that this narrator was: "Not that strong," see the book "Hayat al-Albani wa-Atharu. . . part 1, pg. 207." The truth is that Abu Haatim al-Razi said in the book 'al-Jarh wa-Taadeel, 8/45': "A good narrator but not that strong. . ." So note that al-Albani has removed the phrase "A good narrator !"

NB-(al-Albani has made many of the Hadith which forbid Gold to women to be Shohih, in fact other scholars have declared these Hadith to be daeef and abrogated by other Shohih Hadith which allow the wearing of gold by women. One of the well known Shaykh's of the "Salafiyya" - Yusuf al-Qardawi said in his book: 'Islamic awakening between rejection and extremism, pg. 85: "In our own times, Shaykh Nasir al-Din al-Albani has come out with an opinion, different from the consensus on permitting women to adorn themselves with gold, which has been accepted by all madhahib for the last fourteen centuries. He not only believes that the isnad of these Ahadith is authentic, but that they have not been revoked. So, he believes, the Ahadith prohibit gold rings and earrings." So who is the one who violates the ijma of the Ummah with his extreme opinions?!)

No 16 (Hal.27 nr. 3) Al-Albani mau melemahkan hadits yang membolehkan wanita memakai perhiasan emas dan dalam sanad hadits itu ada Muhammad ibn Imara. Al-Albani menyatakan bahwa Abu Haatim berkata perawi ini ” tidak kuat “, lihat buku Hayat Al-Albani wa-Atharu ..jilid 1 hal.207.
Yang benar ialah bahwa Abu Haatim Al-Razi dalam buku 'Al-Jarh wa-Taadeel, 8/45 berkata: “ Perawi yang baik tapi tidak sangat kuat....” Jadi lihat pada catatan Al-Albani bahwa kalimat “Perawi yang baik “ dibuang !

NotaBene: Al-Albani telah membuat/menulis banyak hadits yang menyata- kan larangan emas (dipakai) untuk wanita menjadi Shohih, padahal kenyataannya para Ulama lain menyatakan hadits-hadits ini lemah dan berlawanan dengan hadits Shohih yang memperbolehkan pemakaian (perhiasan) emas oleh kaum wanita. Salah seorang Syeikh ‘Salafiah’ terkenal, Yusuf Al-Qardawi berkata dalam bukunya Islamic awakening between rejection and extremism, halaman 85 : “Dalam zaman kita sendiri Syeikh Nasir al-Din telah muncul dengan suatu pendapat yang bertentangan dengan kesepakatan tentang pembolehan wanita-wanita menghias diri mereka dengan emas, yang telah diterima/ disetujui oleh semua madzhab selama empat belas abad terakhir. Dia tidak hanya mempercayai bahwa sanad dari hadits-hadits ini dapat dipercaya, tapi bahwa hadits-hadits ini belum dicabut/dihapus. Maka dia percaya hadits-hadits tersebut melarang cincin dan anting-anting emas “. Lalu siapa yang merusak kesepakatan (ijma’) ummat dengan pendapat-pendapatnya yang ekstrem ?

No 17: (* Pg. 37 no. 1 )Hadith: Mahmood ibn Lubayd said, "Allah's Messenger (Sall Allahu alaihi wa Aalihi wa Sallim) was informed about a man who had divorced his wife 3 times (in one sitting), so he stood up angrily and said: 'Is he playing with Allah's book whilst I am still amongst you?' Which made a man stand up and say, 'O Allah's Messenger, shall I not kill him?'" (al-Nisai). Al-Albani declared this Hadith to be Daeef in his checking of "Mishkat al-Masabih, 2/981, 3rd edition, Beirut, 1405 A.H; Maktab al-Islami", where he says: "This man (the narrator) is reliable, but the isnad is broken or incomplete for he did not hear it directly from his father." Al-Albani then contradicts himself in the book "Ghayatul Maram Takhreej Ahadith al-Halal wal Haram, no. 261, pg. 164, 3rd Edn, Maktab al-Islami, 1405 A.H"; by saying it is SHOHIH!!!

No 17 (Hal. 37 nr. 1) Hadits : Mahmud ibn Lubayd berkata; ‘Rasulallah saw. telah diberitahu mengenai seorang yang telah mencerai isterinya 3x dalam satu waktu, oleh karena itu dia berdiri dengan marah dan berkata; ‘Apakah dia bermain-main dengan Kitabullah, sedangkan aku masih berada dilingkungan engkau ? Yang mana berdiri seorang untuk berkata ; Wahai Rasulallah, apakah dia tidak saya bunuh saja ? (Al-Nisa’i).
Al-Albani menyatakan hadits ini lemah menurut penyelidikannya dari kitab ‘Mishkat Al-Masabih 2/981 cet.ketiga, Beirut 1405 A.H. de Maktab Al-Islami ‘ yang mengatakan “ Perawinya bisa dipercaya tapi isnadnya terputus atau tidak komplit, karena dia tidak mendengar langsung dari ayahnya”. Al-Albani berkata berlawanan dengan dirinya sendiri dalam buku Ghayatul Maram Takhreej Ahadith Al-Halal wal-Haram, nr. 261, hal. 164, cet.ketiga Maktab Al-Islami, 1405 A.H" telah mengatakan bahwa hadits itu Shohih !!

No 18 : (* Pg. 37 no. 2)Hadith: "If one of you was sleeping under the sun, and the shadow covering him shrank, and part of him was in the shadow and the other part of him was in the sun, he should rise up." Al-Albani declared this Hadith to be SHOHIH in "Shohih al-Jami al-Sagheer wa Ziyadatuh (1/266/761)", but then contradicts himself by saying it is DAEEF in his checking of "Mishkat ul-Masabih, 3/1337 no. 4725, 3rd Ed" and he has referred it to the Sunan of Abu Dawood!"

No 18 (Hal.37 nr.2) Hadits; “Bila salah satu dari engkau tidur dibawah sinar matahari dan bentuk naungan telah menutupinya dan sebagian darinya didalam naungan dan sebagiannya lagi dibawah sinar matahari, maka dia harus bangun” . Al-Albani menyatakan hadits ini shohih dalam Shohih Al-Jami Al-Sagheer wa Ziyadatuh (1/266/761) tapi perkataannya berlawanan dengannya karena mengatakan hadits ini lemah dalam penyelidikannya dari Mishkat ul-Masabih 3/1337 nr.4725 cet.ketiga dan dia merujuk hadits ini pada Sunan Abu Daud.

No 19 : (* Pg. 38 no. 3 )Hadith: "The Friday prayer is obligatory on every Muslim." Al-Albani rated this Hadith to be DAEEF in his checking of "Mishkat al-Masabih, 1/434", and said: "Its narrators are reliable but it is discontinuous as is indicated by Abu Dawood". He then contradicts himself in "Irwa al-Ghalil, 3/54 no. 592", and says it is SHOHIH!!! So beware o wise men!

No. 19 (Hal.38 nr. 3) Hadits : “Sholat Jum’at itu wajib bagi setiap Muslim” Al-Albani menganggap hadits ini lemah dalam penyelidikannya dari De Mishkat Al-Masabih, 1/434 dan katanya; Perawi dari hadits ini bisa dipercaya, tetapi terputus sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Daud. Kalau begitu dia bertentangan dengan perkataannya dalam’ Irwa Al-Ghalil 3/54 nr. 592’ dan mengatakan hadits ini Shohih ! Hati-hatilah sedikit, wahai orang bijaksana !

No 20 : (* Pg. 38 no. 4 ) Al-Albani has made another contradiction. He has trusted Al-Muharrar ibn Abu Hurayra in one place and then weakened him in another. Al-Albani certifies in "Irwa al-Ghalil, 4/301" that Muharrar is a trustee with Allah's help, and Hafiz (Ibn Hajar) saying about him "accepted", is not accepted, and therefore the sanad is Shohih. He then contradicts himself in "Shohihah 4/156" where he makes the anad DAEEF by saying: "The narrators in the sanad are all Bukhari's (i.e.; used by Imam al-Bukhari) men, except for al-Muharrar who is one of the men of Nisai and Ibn Majah only. He was not trusted accept by Ibn Hibban, and that's why al-Hafiz Ibn Hajar did not trust him, Instead he only said 'accepted!'" So beware of this fraud!

No.20 (Hal. 38 nr. 4). Al-Albani membuat lagi kontradiksi. Dia disatu tempat mempercayai Al-Muharrar ibn Abu Huraira kemudian ditempat lain dia melemahkannya. Al-Albani menerangkan dalam Irwa Al-Ghalil 4/301 bahwa Al-Muharrar dengan bantuan Allah seorang yang dapat dipercayai dan Hafiz (Ibnu Hajar) berkata mengenai dia “dapat diterima”, tidak dapat diterima, dan oleh karenanya sanadnya Shohih.

Maka dia (Albani) berlawanan dengan omongannya dalam Shohihah 4/156 yang mana dia melemahkan sanad sambil mengatakan: ‘Perawi-perawi dalam sanad ialah semua orang-orang didalam Bukhori (lain kata orang-orang yang dicantumkan oleh Imam Bukhori) kecuali Al-Muharrar dia hanya salah satu dari orang-orang Nasa’i dan Ibn Majah . Dia tidak dipercaya oleh Ibn Hibban dan oleh karenanya Al Hafiz Ibn Hajar tidak mempercayainya, daripada itu dia hanya mengatakan “dapat diterima” .Hatilah-hatilah dari kebohongan !

No 21 : (* Pg. 39 no. 5 ) Hadith: Abdallah ibn Amr (Allah be pleased with him): "The Friday prayer is incumbent on whoever heard the call" (Abu Dawood). Al-Albani stated that this Hadith was HASAN in "Irwa al-Ghalil 3/58", he then contradicts himself by saying it is DAEEF in "Mishkatul Masabih 1/434 no 1375"!!!

No.21 (Hal. 39 nr. 5) Hadits: Abdullah ibn Amr ra. “ Sholat Jumat wajib bagi orang yang sudah mendengar panggilan (adzan)” (Abu Daud). Al-Albani menyatakan hadits ini Hasan dalam “Irwa Al-Ghalil 3/58”, dan dia berlawanan dengan perkataannya yang menyatakan hadits ini lemah dalam Mishkatul Masabih 1/434 nr. 1375 !

No 22 : (* Pg. 39 no. 6 ) Hadith: Anas ibn Malik (Allah be pleased with him) said that the Prophet (Sall Allahu alaihi wa Aalihi wa Sallim) used to say : "Do not be hard on yourself, otherwise Allah will be hard on you. When a people were hard on themselves, then Allah was hard on them." (Abu Dawood) Al-Albani stated that this Hadith was DAEEF in his checking of "Mishkat, 1/64", but he then contradicts himself by saying that this Hadith is HASAN in "Ghayatul Maram, pg. 141"!!

No.22 (Hal. 39 nr. 6) Hadits : Anas ibn Malik ra. berkata bahwa Rasulallah saw. telah bersabda: “Janganlah keras terhadap dirimu, dengan demikian Allah juga akan keras terhadapmu, bilamana manusia keras terhadap dirinya maka Allah akan keras juga terhadap mereka”. (Abu Daud). Al-Albani menurut penyelidikannya di Mishkat 1/64, mengatakan bahwa hadits ini lemah. Tapi dia lalu berlawanan dengan perkataannya di "Ghayatul Maram, hal. 141 bahwa hadits ini Hasan !!

No 23: (* Pg. 40 no. 7 ) Hadith of Sayyida Aisha (Allah be pleased with her): "Whoever tells you that the Prophet (Peace be upon him) used to urinate while standing, do not believe him. He never urinated unless he was sitting." (Ahmad, Nisai and Tirmidhi ) Al-Albani said that this sanad was DAEEF in "Mishkat 1/117." He then contradicts himself by saying it is SHOHIH in "Silsilat al-Ahadith al-Shohihah 1/345 no. 201"!!! So take a glance dear reader!

No.23 (Hal.40 nr. 7) Hadits dari ‘Aisyah ra : “Siapapun yang mengatakan bahwa Rasulallah saw biasa kencing dengan berdiri, janganlah dipercayai. Beliau tidak pernah kencing kecuali dengan duduk” (Ahmad,Nasa’i dan Tirmidzi). Al-Albani dalam Mishkat 1/117 mengatakan sanad hadits ini lemah. Dia bertentangan dengan perkataannya di “Silsilat Al-Ahadits al-Shohihah 1/345 nr.201” bahwa hadits ini Shohih !

No 24 : (* Pg. 40 no. 8 ) Hadith "There are three which the angels will never approach: The corpse of a disbeliever, a man who wears ladies perfume, and one who has had sex until he performs ablution" (Abu Dawood). Al-Albani corrected this Hadith in "Shohih al-Jami al-Sagheer wa Ziyadatuh, 3/71 no. 3056" by saying it was HASAN in the checking of "Al-Targhib 1/91" [Also said to be Hasan in the English translation of 'The Etiquettes of Marriage and Wedding, pg. 11]. He then makes an obvious contradiction by saying that the same Hadith was DAEEF in his checking of "Mishkatul-Masabih, 1/144 no. 464" and says that the narrators are trustworthy but the chain is broken between Al-Hasan al-Basri and Ammar (Allah be pleased with him) as al-Mundhiri had said in al-Targhib (1/91)!!

No.24 (Hal.40 nr.8) Hadits : “Tiga macam orang yang malaikat tidak mau mendekatinya : Mayit orang kafir, lelaki yang memakai minyak wangi wanita dan orang yang telah berhubungan sex (junub) sampai dia bersuci ” (Abu Daud). Al-Albani telah membenarkan hadits ini dalam Shohih Al-Jami Al-Sagheer wa Ziyadatuh 3/71 nr. 3056 dengan mengatakan hadits itu Hasan dalam penyelidikan dari Al-Targhib 1/91 (juga mengatakan Hasan dalam Terjemahannya kedalam bahasa Inggris “The Etiquettes of Marriage and Wedding, page 11). Dia membuat kontradiksi yang nyata dalam penyelidikannya dalam Mishkatul-Masabih 1/144 nr. 464 mengatakan hadits yang sama ini Lemah, dan dia berkata bahwa perawi-perawinya patut di- percaya tapi rantai sanadnya terputus antara Hasan Basri dan Ammar sebagaimana yang disebutkan juga oleh Al-Mundhiri dalam Al-Targhib 1/91 !!

No 25 : (* Pg. 42 no. 10 ) It reached Malik (Rahimahullah) that Ibn Abbas (Allah be pleased with him) used to shorten his prayer, in distances such as between Makkah and Ta'if or between Makkah and Usfan or between Makkah and Jeddah. . . . Al-Albani has weakened it in "Mishkat, 1/426 no. 1351", and then contradicts himself by saying it is SHOHIH in "Irwa al-Ghalil, 3/14"!!

No.25 (Hal. 42 nr. 10) Telah sampai (riwayat) dari Malik rh “bahwa Ibn Abbas ra. biasa menyingkat (menggashor) sholatnya dalam jarak antara Makkah dan Ta’if atau antara Makkah dan Usfan atau antara Makkah dan Jeddah.....” Al-Albani telah melemahkannya dalam Mishkat, 1/426 nr.1351, dan dia bertentangan dengan perkataannya di Irwa al-Ghalil 3/14 yang mengatakan ini Shahih !

No 26 : (* Pg. 43 no. 12 ) Hadith: "Leave the Ethiopians as long as they leave you, because no one takes out the treasure of the Ka'ba except the one with the two weak legs from Ethiopia." Al-Albani has weakened this Hadith in his checking of "Mishkat 3/1495 no. 5429" by saying: "The sanad is DAEEF." But then he contradicts himself as is his habit, by correcting it in "Shohihah, 2/415 no. 772."

No. 26. (Hal.43 nr.12) Hadits : “Tinggalkan orang-orang Ethiopia selama mereka meninggalkanmu, sebab tidak ada orang yang mengambil barang berharga dari Ka’bah kecuali seorang Ethopia yang dua kakinya lemah” . Al-Albani dalam penyelidikannya di Mishkat 3/1495 nr. 5429 mengatakan sanadnya Lemah. Tapi sebagaimana biasa dia bertentangan dengan perkata- annya dengan membenarkannya dalam Shahihah 2/415 nr. 772 !

An example of al-Albani praising someone in one place and then disparaging him in another place in his books

Contoh (Sifat) dari Al-Albani ialah pertama memuji seseorang disatu tempat dibukunya dan dilain tempat mengecilkan orang tersebut.!!

No 27 : (* Pg. 32 ) He praises Shaykh Habib al-Rahman al-Azami in the book 'Shohih al Targhib wa Tarhib, page 63', where he says: "I want you to know one of the things that encouraged me to. . . . which has been commented by the famous and respected scholar Shaykh Habib al-Rahman al-Azami" . . . . And he also said on the same page, "And what made me more anxious for it, is that its checker, the respected Shaykh Habib al-Rahman al-Azami has announced. . . ." Al-Albani thus praises Shaykh al-Azami in the above mentioned book; but then makes a contradiction in the introduction to 'Adaab uz Zufaaf (The Etiquettes of Marriage and Wedding), new edition page 8', where he said: "Al-Ansari has used in the end of his letter, one of the enemies of the Sunnah, Hadith and Tawhid, who is famous for that, is Shaykh Habib al-Rahman al-Azami. . . . . For his cowardliness and lack of scholarly deduction. . . .."

No.27 (Hal. 32) Dia (Albani) memuji Syeikh Habib al-Rahman al-Azami didalam Shahih al Targhib wa Tarhib hal. 63 yang mana katanya ; “Saya ingin agar engkau mengetahui satu dari beberapa hal bahwa saya memberanikan diri untuk....yang dikomentari oleh ulama yang terkenal dan terhormat Syeikh Habib al-Rahman al-Azami “.... dan dia (Albani) mengatakan pada halaman yang sama “Dan apa yang membuat saya rindu untuknya, orang yang menyelidiki sesuatu dan mengumumkannya yaitu yang terhormat Syeikh Habib al-Rahman al-Azami “. Al-Albani memuji Syeikh al-Azami dalam buku yang tersebut diatas. Tapi kemudian membuat penyangkalan dalam ‘Adaab uz Zufaaf (Akhlak Perkawinan dan Pernikahan), edisi baru hal.8 yang dia berkata; Al-Ansari telah membiasakan akhir dari tulisannya, salah satu musuh dari Sunnah, Hadits dan Tauhid, yang cukup terkenal , ialah Syaikh Habib al-Rahman al-Azami......karena ketakutan dan kekurangan ilmunya....””

NB - (The above quotation from Adaab uz Zufaaf is not found in the English translation by his supporters, which shows that they deliberately avoided translating certain parts of the whole work). So have a glance at this!

NB: (Kutipan diatas dari ‘Adaab uz Zufaaf , tidak terdapat didalam terjemahan bahasa Inggris oleh pendukung-pendukungnya yang mana menunjukkan bahwa mereka dengan sengaja tidak mau menterjemahkan bagian-bagian tertentu). Ini perlu diperhatikan !

SELECTED TRANSLATIONS FROM VOLUME 2
Terjemahan-terjemahan pilihan dari jilid (volume) 2

No 28 : (* Pg. 143 no. 1 ) Hadith of Abi Barza (Allah be pleased with him): "By Allah, you will not find a man more just than me" (Sunan al-Nisai, 7/120 no. 4103). Al-Albani said that this Hadith was SHOHIH in "Shohih al-Jami wa Ziyadatuh, 6/105 no. 6978", and then he astonishingly contradicts himself by saying it is DAEEF in "Daeef Sunan al-Nisai, pg. 164 no. 287." So beware of this mess!

No.28 (Hal.143 nr.1) Hadits dari Abi Barza ra: “ Demi Allah, Engkau tidak akan menemukan seorang lebih benar dari saya “(Sunan Al-Nisai 7/120 nr. 4103) Al-Albani berkata bahwa hadits ini Shohih dalam Shohih Al-Jami wa Ziyadatuh 6/105 nr.6978 dan kemudian lebih mengherankan dia bertentang- an dengan perkataannya dalam Daeef Sunan Al-Nisai hal. 164 nr. 287 yang mengatakan itu Lemah. HATI-HATILAH DARI PENGACAUN INI !

No 29 : (* Pg. 144 no. 2 ) Hadith of Harmala ibn Amru al-Aslami from his Uncle: "Throw pebbles at the Jimar by putting the extremity of the thumb on the fore-finger." (Shohih Ibn Khuzaima, 4/276-277 no. 2874) Al-Albani acknowledged its weakness in "Shohih Ibn Khuzaima" by saying that the sanad was DAEEF, but then contradicts himself by saying it is SHOHIH in "Shohih al-Jami wa Ziyadatuh, 1/312 no. 923!"

No 29 (Hal. 144 nr. 2) Hadits dari Harmala ibn Amru al-Aslami dari pamannya: “Letakkanlah batu kerikil pada ujung ibu jari diatas jari depan (telunjuk) pada lemparan jumrah “ (Shohih Ibn Khuzaima, 4/276-277 nr.2874). Al-Albani memberitahu kelemahan ini (hadits) dalam Shohih Ibn Khuzaima sambil mengatakan sanad hadits ini Lemah, tapi kemudian dia bertentangan sendiri yang mengatakan Shohih dalam "Shohih al-Jami wa Ziyadatuh, 1/312 no. 923 !"

No 30 : (* Pg. 144 no. 3 ) Hadith of Sayyidina Jabir ibn Abdullah (Allah be pleased with him): "The Prophet (Peace be upon him) was asked about the sexually defiled [junubi]. . . can he eat, or sleep. . . He said :'Yes, when this person makes wudhu.'" (Ibn Khuzaima no. 217 and Ibn Majah no. 592). Al-Albani has admitted its weakness in his comments on "Ibn Khuzaima, 1/108 no. 217", but then contradicts himself by correcting the above Hadith in "Shohih Ibn Majah, 1/96 no. 482 "!!

No 30 (Hal. 144 nr.3) Hadits dari Sayyidina Jabir ibn Abdullah ra. : “Rasulallah saw. ditanyai tentang Junub (orang yang belum suci setelah bersetubuh) ...apa boleh dia makan atau tidur...Beliau saw. bersabda : Boleh, bila orang ini wudu dahulu “ (Ibn Khuzaima nr. 217 dan Ibn Majah nr.592). Al-Albani telah mengikrarkan kelemahannya didalam komentarnya di Ibn Khuzaima 1/108 nr. 217, Tetapi kemudian kontradiksi sendiri dengan membenarkan hadits tersebut dalam Shohih Ibn Majah 1/96 nr. 482).

No 31 : (* Pg. 145 no. 4 ) Hadith of Aisha (Allah be pleased with her): "A vessel as a vessel and food as food" (Nisai, 7/71 no. 3957). Al-Albani said that it was SHOHIH in "Shohih al-Jami wa Ziyadatuh, 2/13 no. 1462", but then contradicts himself in "Daeef Sunan al-Nisai, no. 263 pg. 157", by saying it is DAEEF!!!

No. 31 (Hal.145 nr.4) Hadits dari Aisyah ra ; “ Perahu sebagai perahu (berlayar) dan makanan sebagai makanan “ (Nasai 7/71 nr. 3957). Al-Albani mengatakan hadits ini Shohih dalam Shohih al-Jami wa Ziyadatuh 2/13 nr.1462, tetapi kemudian menyangkal sendiri dengan mengatakan Lemah dalam Daeef Sunan al-Nisai nr. 263 hal. 157. !!

No 32 : (* Pg. 145 no. 5 ) Hadith of Anas (Allah be pleased with him): "Let each one of you ask Allah for all his needs, even for his sandal thong if it gets cut." Al-Albani said that the above Hadith was HASAN in his checking of "Mishkat, 2/696 no. 2251 and 2252", but then contradicts himself in "Daeef al-Jami wa Ziyadatuh, 5/69 no. 4947 and 4948"!!!

No 32 (Hal.145 nr. 5) Hadits dari Anas ra : “Mintalah setiap kamu pada Allah semua yang engkau butuhkan walaupun mengenai tali sandalnya bila telah putus” Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini Hasan dalam penyelidik- annya di Mishkat 2/696 nr. 2251 dan 2252, tetapi kemudian dia bertentangan sendiri dalam Daeef al-jami wa Ziyadatuh 5/69 nr. 4947 dan 4948 !!

No 33 : (* Pg. 146 no. 6 ) Hadith of Abu Dharr (Allah be pleased with him): "If you want to fast, then fast in the white shining nights of the 13th, 14th and 15th." Al-Albani declared it to be DAEEF in "Daeef al-Nisai, pg. 84" and in his comments on "Ibn Khuzaima, 3/302 no. 2127", but then contradicts himself by calling it SHOHIH in "Shohih al-Jami wa Ziyadatuh, 2/10 no. 1448" and also corrected it in "Shohih al-Nisai, 3/902 no. 4021"!! So what a big contradiction!
NB- (Al-Albani mentioned this Hadith in 'Shohih al-Nisai' and in 'Daeef al-Nisai', which proves that he is unaware of what he has and is classifying, how inept!).

No. 33 (Hal.146 nr.6) Hadits dari Abu Dzar ra : “Bila engkau ingin berpuasa, maka puasalah pada bulan purnama tanggal 13, 14 dan 15 “ . Al-Albani menyatakan hadits ini Lemah dalam Daeef al-Nisai hal. 84 dan dalam komentarnya di Ibn Khuzaima 3/302 nr. 2127. Tetapi kemudian kontradiksi sendiri yang menyebutnya Shohih dalam Shohih al-Jami wa Ziyadatuh 2/10 nr. 1448 dan pula membenarkan itu dalam Shohih al-Nisai 3/902 nr. 4021 !! Ini adalah kontradiksi yang besar !
NB: (Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam Shohih al-Nisai dan dalam Daeef al-Nisai, ini semua menunjukkan bahwa dia tidak hati-hati/ceroboh atas apa yang telah dia perbuat, semuanya tidak layak)

No 34 : (* Pg. 147 no. 7 )Hadith of Sayyida Maymoonah (Allah be pleased with her): "There is nobody who has taken a loan and it is in the knowledge of Allah. . . ." (Nisai, 7/315 and others). Al-Albani said in "Daeef al-Nisai, pg 190": "Shohih, except for the part al-Dunya." Then he contradicts himself in "Shohih al-Jami wa Ziyadatuh, 5/156", by saying that the whole Hadith is SHOHIH, including the al-Dunya part. So what an amazing contradiction!

No.34 (Hal. 147 nr.7) Hadits dari Siti Maymunah ra ; “ Tidak seorangpun yang menerima pinjaman dan itu (selalu)dalam pengetahuan Allah” (Nisai, 7/315 dan lain-lain). Al-Albani berkata dalam Daeef al-Nisai hal.190 ; ‘Shohih, kecuali bagian al-Dunya’. Kemudian dia menayangkal sendiri dalam Shohih al Jami wa Ziyadatuh 5/156, dengan mengatakan bahwa semua Hadits ini Shohih termasuk bagian al-Dunya. Ini kontradiksi yang sangat menakjubkan !

No 35 : (* Pg. 147 no. 8 )Hadith of Burayda (Allah be pleased with him): "Why do I see you wearing the jewellery of the people of hell" (Meaning the Iron ring), [Nisai, 8/172 and others. . .]. Al-Albani has said that it was SHOHIH in "Shohih al-Jami wa Ziyadatuh, 5/153 no. 5540", but then contradicts himself by saying it is DAEEF in "Daeef al-Nisai, pg. 230"!!!

No.35 (Hal. 147 nr. 8) Hadits dari Buraidah ra: “Mengapa saya melihat engkau memakai perhiasan dari penghuni neraka (Maksudnya cincin besi)”. (Nisai 8/172 dan lain-lainnya....). Al-albani telah mengatakan hadits in Shohih dalam Shahih al-jami wa Ziyadatuh 5/153 nr. 5540. Tetapi kemudian dia menyangkal sendiri dengan mengatakan Lemah dalam Daeef al-Nisai hal.230) !

No 36 : (* Pg. 148 no. 9 )Hadith of Abu Hurayra (Allah be pleased with him): "Whoever buys a carpet to sit on, he has 3 days to keep it or return it with a cup of dates that are not brownish in colour" (Nisai 7/254 and others). Al-Albani has weakened it with reference to the '3 days' part in "Daeef Sunan al-Nisai, pg. 186", by saying: "Correct, except for 3 days." But the 'genius' contradicts himself by correcting the Hadith and approving the '3 days' part in "Shohih al-Jami wa Ziyadatuh, 5/220 no. 5804". So wake up (al-Albani)!!

No.36 (Hal.148 nr. 9) Hadits dari Abu Huraira ra ; “ Siapapun membeli permadani untuk diduduki, dia mempunyai waktu tiga hari untuk menyimpan- nya atau mengembalikannya dalam beberapa waktu selama warnanya tidak menjadi coklat (karena kotor) ”. (Nisai 7/254 dan lain-lainya). Al-Albani telah melemahkan hadits ini pada bagian “tiga hari” dengan menyebut referensi- nya dalam Daeef Sunan al-nisai hal. 186, sambil katanya “Benar/Shohih kecuali kata-kata tiga hari”.Tetapi ‘orang cerdik ini’ menyangkal sendiri dengan membenarkan hadits itu dan termasuk bagian kata-kata “tiga hari” dalam Shohih al-jami wa Ziyadatuh 5/220 nr. 5804“. Bangunlah hai al-Albani!

No 37 : (* Pg. 148 no. 10 )Hadith of Abu Hurayra (Allah be pleased with him): "Whoever catches a single rak'ah of the Friday prayer has caught (the whole prayer)." (Nisai 3/112, Ibn Majah 1/356 and others). Al-Albani has weakened it in "Daeef Sunan al-Nisai, no. 78 pg. 49", where he said: "Abnormal (shadh), where Friday is mentioned." He then contradicts himself by saying SHOHIH, including the Friday part in "Irwa, 3/84 no. 622 ." May Allah heal you!

No.37 (Hal. 148 nr.10) Hadits Abu Hurairah ra : “Siapapun yang mendapati satu raka’at dari Sholat Jum’at itu telah memadainya (untuk semua sholat)”. (Nisai 3/112, Ibn Majah 1/356 dan lain-lainnya). Al-Albani telah melemahkan ini dalam Daeef Sunan al-Nisai, nr. 78 hal. 49, dimana dia telah berkata; ‘Luar biasa (shadh), bilamana disitu disebutkan hari jumat’. Kemudian dia kontradiksi sendiri dengan mengatakan Shohih termasuk bagian hari Jum’at dalam Irwa, 3/84 nr. 622 !! Semoga Allah menyembuhkanmu !

AL-Albani and his Defamation and Authentication of Narrators at will !
Al-Albani dan Fitnahannya Dan Perawi-perawi yang dipercaya kesenangannya !

No 38 : (* Pg 157 no 1 ) KANAAN IBN ABDULLAH AN-NAHMY :- Al-Albani said in his "Shohihah, 3/481" : "Kanaan is considered Hasan, for he is attested by Ibn Ma'een." Al-Albani then contradicts himself by saying, "There is weakness in Kanaan" (see "Daeefah, 4/282")!!

No 38 (Hal. 157 nr.1) Kanan Ibn Abdullah An-Nahmy : Al-Albani berkata dalam Shohihah, 3/481 ; “Kanaan telah dianggap sebagai Hasan, untuk itu telah dinyatakan oleh Ibn Ma’een. Kemudian Al-Albani menyangkal sendiri dengan katanya “ Ada kelemahan pada Kanaan” (lihat Daeefah, 4/282) !!

No 39 : (* Pg. 158 no. 2 ) MAJA'A IBN AL-ZUBAIR :- Al-Albani has weakened Maja'a in "Irwa al-Ghalil, 3/242", by saying, "This is a weak sanad because Ahmad has said: 'There is nothing wrong with Maja'a', and Daraqutni has weakened him. . ." Al-Albani then made a contradiction in his "Shohihah, 1/613" by saying: "His men (the narrators) are trusted except for Maja'a who is a good narrator of Hadith." An amazing contradiction!

No 39 (Hal.158. nr.2) Maja’a Ibn Al-Zubair : Al-Albani telah melemahkan Maja’a dalam Irwa al-Ghalil, 3/242, dengan katanya. “ Ini adalah sanad yang lemah sebab Ahmad telah berkata ‘ Tidak ada kesalahan dengan Maja’a, dan Daraqutni telah melemahkan dia...’“. Al-Albani telah membuat kontradiksi dalam bukunya Shohihah 1/613 dengan mengatakan “ Perawi-perawinya bisa dipecaya kecuali Maja’a, itu seorang perawi hadits yang baik“. Suatu pertentangan yang menakjubkan !!!

No 40 : (* Pg. 158 no. 3 ) UTBA IBN HAMID AL-DHABI :- Al-Albani has weakened him in "Irwa al-Ghalil, 5/237" by saying: "And this is a weak (Daeef) sanad which has three defects. . . . the second defect is the weakness of al-Dhabi, the Hafiz said: 'A truthful narrator with hallucinations'". Al-Albani then makes an obvious contradiction in "Shohihah, 2/432", where he said about a sanad which mentions Utba: "And this is a good (Hasan) sanad, Utba ibn Hamid al-Dhabi is trustworthy but has hallucinations, and the rest of the narrators in the sanad are trusted." !!

No 40 (Hal. 158 nr.3) Utba Ibn Hamid Al-Dhabi; Al-Albani telah melemahkan dia dalam Irwa al-Ghalil 5/237 sambil katanya ; “ Dan ini adalah sanad lemah yang mempunyai tiga kekeliruan....kekeliruan kedua ialah kelemahan dari al- Dhabi, Hafiz berkata ; ‘ Seorang perawi jujur dengan khayalan’ . Kemudian Al-Albani membuat kontradiksi yang nyata dalam Shohihah 2/432, dimana dia ber- kata tentang sanad yang menyebut Utba; ”Dan ini sanad yang baik (Hasan), Utba ibn Hamid al-Dhabi dapat dipercaya.....tapi mempunyai khayalan, dan lain daripada sanad perawi itu semuanya dapat dipercaya”.

No 41: (* Pg. 159 no. 4 )HISHAM IBN SA'AD :- Al-Albani said in his "Shohihah, 1/325": "Hisham ibn Sa'ad is a good narrator of Hadith." He then contradicts himself in "Irwa al-Ghalil, 1/283" by saying: "But this Hisham has a weakness in memorizing" So what an amazement !!

No 41 (Hal. 159 nr. 4) Hisham Ibn Sa’ad ; Al-Albani berkata dalam Shohihah 1/325; “ Hisham ibn sa’ad ialah perawi hadits yang baik”. Kemudian dia bertentangan sendiri dalam Irwa al-Ghalil 1/283 sambil katanya ; “Tapi Hisham ini lemah dalam hafalan”. Sesuatu yang mengherankan !!

No 42 : (* Pg. 160 no. 5 ) UMAR IBN ALI AL-MUQADDAMI :- Al-Albani has weakened him in "Shohihah, 1/371", where he said: "He in himself is trusted but he used to be a very bad forger, which makes him undependable. . . ." Al-Albani then contradicts himself again in "Shohihah, 2/259" by accepting him and describing him as being trustworthy from a sanad which mentions Umar ibn Ali. Al-Albani says: "Classified by Hakim, who said: 'A Shohih Isnad (chain of transmission)', and al-Dhahabi went along with it, and it is as they have said." So what an amazement !!!

No 42 (Hal.160 nr. 5) Umar Ibn Ali Al-Muqaddami ; Al-albani telah melemahkan dia dalam Shohihah 1/371, dimana dia berkata ; “ Dia merasa dirinya bisa dipercaya, tapi dia sebagai Pemalsu yang sangat jelek, dengan menjadikan dirinya tidak dipercayai...” Al-Albani membuat kontradiksi baru lagi dalam Shohihah 2/259 mengakui dia (Umar ibn Ali) dan mengatakan bila ada sanad yang menyebut Umar Ibn Ali maka bisa dipercayainya. Al-Albani berkata “ Diklasifikasikan oleh Hakim yang mana berkata : “Shohih isnadnya” (rantaian perawinya) dan Al-Dhahabi mengakuinya juga dan mereka (berdua) mengatakan demikian adalah benar “. Itu sangat mengherankan !

No 43: (* Pg. 160 no. 6 )ALI IBN SA'EED AL-RAZI :- Al-Albani has weakened him in "Irwa, 7/13", by saying: "They have said nothing good about al-Razi." He then contradicts himself in another 'fantastic' book of his, "Shohihah, 4/25", by saying: "This is a good (Hasan) sanad and the narrators are all trustworthy." So beware !!!

No 43 (Hal. 160. nr. 6) Ali Ibn Sa’eed Al-Razi ; Al-Albani telah melemahkan dia dalam Irwa 7/13, dengan katanya : “Mereka telah mengatakan tidak ada yang benar tentang al-Razi” Dia kemudian menyangkal sendiri dalam ‘buku lainnya yang ‘indah/hebat’ Shohihah, 4/25, sambil mengatakan “Ini adalah baik (Hasan) sanadnya dan perawi-perawinya semua bisa dipercaya”. Berhati-hatilah !!

No 44: (* Pg. 165 no. 13 ) RISHDIN IBN SA'AD :- Al-Albani said in his "Shohihah, 3/79" : "In it (the sanad) is Rishdin ibn Sa'ad, and he has been declared trustworthy." But then he contradicts himself by declaring him to be DAEEF in "Daeefah, 4/53"; where he said: "And Rishdin ibn Sa'ad is also daeef." So beware!!

No 44: (Hal. 165 nr. 13) Rishdin Ibn Sa’ad : Al-Albani berkata dalam Shohihah 3/79 : “ Ada dalam sanad Rishdin ibn Sa’ad, dan dia telah menyatakan bisa dipercaya”. Tetapi kemudian dia bertentangan sendiri dalam penyataannya yang mengatakan Lemah tentang dia (Rishdin) dalam Daeefah 4/53, dimana dia berkata : “dan Rishdin ibn Sa’ad ini juga lemah “. BERHATI-HATILAH !!

No 45: (* Pg. 161 no. 8 ) ASHAATH IBN ISHAQ IBN SA'AD :- What an amazing fellow this Shaykh!! Al-Albani!! Proves to be. He said in "Irwa al-Ghalil, 2/228": "His status is unknown, and only Ibn Hibban trusted him." But then he contradicts himself by his usual habit! Because he only transfers from books and nothing else, and he copies without knowledge; this is proven in "Shohihah, 1/450", where he said about Ashaath: "Trustworthy". So what an amazement !!!

No 45 (Hal. 161 nr. 8) Ashaath Ibn Ishaq Ibn Sa’ad : Betapa mengherankan lelaki (Al-Albani) ini !! Terbukti, dia berkata dalam Irwa al-Ghalil 2/228, “Keadaannya/statusnya tidak dikenal, dan hanya Ibn Hibban mempercayai dia”. Tetapi kemudian dia bertentangan sendiri, seperti kebiasaannya! Karena dia hanya mengalihkan/menyalin dari buku-buku dan tidak ada lain- nya, dan dia mengutip/menyalin tanpa adanya ilmu pengetahuan. Ini dibukti- kan dalam Shohihah 1/450, dimana dia berkata tentang Ashaath : “Dapat dipercaya”. Keajaiban yang luar biasa!!

Nr.46: (* Pg. 162 no. 9 ) IBRAHIM IBN HAANI :- The honourable!! The genius!! The copier!! Has made Ibrahim ibn Haani trustworthy in one place and has then made him unknown in another. Al-Albani said in 'Shohihah, 3/426': "Ibrahim ibn Haani is trustworthy", but then he contradicts himself in "Daeefah, 2/225", by saying that he is unknown and his Ahadith are refused!!

No 46: (Hal.162 nr.9) Ibrahim Ibn Haani : “Paling terhormat ! Paling Pandai ! Tukang Menyalin ! Dia (Albani) telah membuat Ibn Haani ‘dapat dipercaya‘ disatu tempat dan membuat dia ‘tidak dikenal’ ditempat lainnya.. Al-Albani berkata dalam Shohihah 3/426; “ Ibrahim ibn Haani ialah dapat dipercaya”, tetapi kemudian dia bertentangan sendiri dalam Daeeah, 2/225 dengan katanya “bahwa dia itu tidak dikenal dan haditsnya itu tertolak ! “.

No 47: (* Pg. 163 no. 10 ) Al-Ijlaa Ibn Abdullah Al-Kufi : Al-Albani has corrected a sanad by saying it is good in "Irwa, 8/7", with the words: "And its sanad is good, the narrators are trustworthy, except for Ibn Abdullah al-Kufi who is truthful." He then contradicts himself by weakening the sanad of a Hadith where al-Ijlaa is found and has made him the reason for declaring it DAEEF (see 'Daeefah, 4/71'); where he said: "Ijlaa ibn Abdullah has a weakness." Al-Albani then quoted Ibn al-Jawzi's (Rahimahullah) words by saying: "Al-Ijlaa did not know what he was saying ."!!!

No 47: (Hal. 163 nr. 10) Al-Ijlaa Ibn Abdullah Al-Kufi ; Al-Albani memperbaiki sanad sambil mengatakan itu baik dalam Irwa 8/7, dengan kata-kata : “ Dan sanad tersebut adalah baik , perawi-perawi semua dapat dipercaya, kecuali Ibn Abdullah al-Kufi dia adalah jujur “. Dia kemudian kontradiksi sendiri dengan melemahkan sanad dari hadits yang diketemukan al-Ijlaa dan dia membuat alasan baginya untuk menyatakannya lemah (lihat Daeefah 4/71) , dimana dia berkata: “ Ijlaa ibn Abdullah mempunyai kelemahan “ Al-Albani menukil kata-kata Ibn al-Jawzi’s (Rahimahullah) yang berkata ; “ Al-Ijlaa tidak mengetahui apa yang dia katakan “ !!!

No 48: (* Pg. 67-69 ) ABDULLAH IBN SALIH : KAATIB AL-LAYTH :- Al-Albani has criticised Al-Hafiz al-Haythami, Al-Hafiz al-Suyuti, Imam Munawi and the Muhaddith Abu'l-Fadl al-Ghimari (Allah's mercy be upon them) in his book "Silsilah al-Daeefah, 4/302", when checking a Hadith containing the narrator Abdullah ibn Salih. He says on page 300: "How could Ibn Salih be all right and his Hadith be good, even though he has got many mistakes and is of little awareness, which also made some fraudulent Hadiths enter his books, and he narrates them without knowing about them!" He has not mentioned that Abdullah ibn Salih is one of Imam al-Bukhari's men (i.e. used by al-Bukhari), because it does not suit his mode, and he does not state that Ibn Ma'een and some of the leading critics of Hadith have trusted him. Al-Albani has contradicted himself in other places in his books by making Hadiths containing Abdullah ibn Salih to be good, and here they are :- Al-Albani said in "Silsilah al-Shohihah, 3/229" : "And so the sanad is good, because Rashid ibn Sa'ad is trustworthy by agreement, and who is less than him in the men of Shohih, and there is also Abdullah ibn Salih who has said things that are unharmful with Allah's help!!"."

Al-Albani also said in "Shohihah, 2/406" about a sanad which contained Ibn Salih: "a good sanad in continuity." And again in "Shohihah, 4/647": "He's a proof with continuity”

NB- (Shaykh Saqqaf then continued with some important advice, this has been left untranslated for brevity but one may refer to the Arabic for further elaboration). By the grace of Allah, this is enough from the books of Shaykh Saqqaf to convince any seeker of the truth, let alone the common folk who have little knowledge of the science of Hadith. If anyone is interested for hundreds of other similar quotes from Shaykh Saqqaf, then I suggest you write to the following address to obtain his book Tanaqadat al-Albani al-Wadihat (The Clear Contradictions of al-Albani).

No 48: (Hal. 67-69) Abdullah Ibn Salih: Kaatib Al-Layth: Al-albani telah mengeritik Al-Hafiz al-Haitami, Al-Hafiz al-Suyuti, Imam Munawi dan ahli hadits Abu’l-Fadzl al-Ghimari (rh) dalam bukunya Silsilah al-Daeefah 4/302, waktu mengontrol hadits yang didalamnya ada perawi Abdullah ibn Salih. Dia (Albani) berkata pada halaman 300 ; “Bagaimana dapat Ibn Salih menjadi benar dan haditsnya menjadi baik, dia sendiri sangat banyak membuat kesalahan dan yang mana juga memasukkan beberapa hadits palsu didalam bukunya, dan dia meyebutkan sanad-sanadnya tapi dia sendiri tidak mengenal mereka.”

Dia (Albani) tidak menyebutkan bahwa Abdullah Ibn Salih ialah salah satu orang dari orang-orangnya Imam Bukhori (yaitu dipakai oleh Bukhori), karena (Albani) tidak cocok dengan caranya (Albani) dan dia (Albani) tidak menyebutkan bahwa Ibn Ma’een dan beberapa kritikus dari hadits telah mempercayai dia (Abdullah Ibn Salih). Al-Albani telah berlawanan dengan perkataannya sendiri, dalam tempat lain dibuku-bukunya telah mengatakan bahwa semua hadits yang diketengahkan Abdullah ibn Salih adalah baik, sebagai berikut :
Al-Albani berkata dalam de Silsilah Al-Shohihah, 3/229 : “ Dan sanad itu baik, karena Rashid ibn Saad telah disepakati dapat dipercaya dan lebih rendah dari dia dalam lingkungan orang-orang yang Shohih dan juga Abdullah ibn Salih telah mengatakan sesuatu yang tidak bahaya dengan bantuan Allah “Al-Albani juga berkata dalam Shohihah 2/406 mengenai sanad yang didalamnya ada Ibn Salih “sanad berkesinambungan yang baik” Dan lagi dalam Shohihah 4/647; “Dia adalah bukti dalam berkesinambungan”

NB: (kemudian Syeikh Seggaf meneruskan dengan beberapa wejangan yang penting, demi keringkasan sengaja tidak diterjemahkan , tetapi bila orang ingin merujuknya bisa lihat bahasa Arabnya). Dengan karunia Allah, ini telah cukup dari buku-buku Syeikh Seggaf untuk meyakinkan siapa saja yang mencari kebenaran, biarkan orang-orang itu sendiri bersama-sama mengetahui sedikit tentang ilmu hadits. Bila ada orang tertarik untuk mendapatkan buku yang didalamnya ada ratusan kutipan yang serupa (tentang Al-Albani) yang berjudul Tanaqadat Al-Albani Al-Wadihat silahkan anda menulis kealamat: IMAM AL-NAWAWI HOUSE POSTBUS 925393 AMMAN JORDAN.

Setelah kita menyimak berbagai contoh kesalahan dan penyimpangan yang dilakukan dengan sengaja atau tidak oleh ‘Yang Terhormat Al-Muhaddis Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani’ oleh ‘Al-Alamah Syeikh Muhamad Ibn Ali Hasan As-Saqqof’ dimana dalam kitabnya tersebut beliau (Rahima- hullah) menunjukkan ± 1200 kesalahan dan penyimpangan dari Syeikh Al-Albani dalam kitab-kitab yang beliau tulis seperti contoh diatas. Maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa bidang ini tidak dapat digeluti oleh sembarang orang, apalagi yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai seorang yang layak untuk menyadang gelar ‘Al-Muhaddits’ (Ahli Hadits) dan tidak memperoleh pendidikan formal dalam bidang ilmu hadits dari Universitas-universitas Islam yang terkemuka dan ‘Para Masyaik’h yang memang ahli dalam bidang ini.

Dan Para Ulama telah menetapkan kriteria yang ketat agar hanya benar-benar ‘orang yang memang memenuhi kriteria sajalah’ yang layak menyadang gelar ini seperti yang diungkapkan oleh Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadits (muhaddits) itu sebenarnya:
“Menurut sebagian Imam hadits, orang yang disebut dengan Ahli Hadits (Muhaddits) adalah orang yang pernah menulis hadits, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadits), dan meng- komentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi -pent) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadits. Tetapi jika ia sudah mengena- kan jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masa- nya, atau menghalalkan (dirinya memakai-pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni -pent). Dan hanya mempelajari hadits Al-Ifki wa Al-Butan. Maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddits bahkan ia bukan manusia. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam” ( Lihat Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1hal. 40-41).

Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah ‘Para Muhaddits’ generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi, Imam Ibn Hibban dan lain-lain.

Sehingga apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk Ghuluw -pent) dengan menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk -pent) dengan sebagian Syeikh yang tidak pernah menulis hadits, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadits atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadits yang mencapai seribu karangan lebih !?!!. Sehingga bukan Sunnah Nabi yang dibela dan ditegakkan, malah sebaliknya yang muncul adalah fitnah dan kekacauan yang timbul dari pekerjaan dan karya-karyanya, sebagaimana contoh-contoh diatas.

Ditambah lagi dengan munculnya sikap arogan, dimana dengan mudahnya kelompok ini menyalahkan dan bahkan membodoh-bodohkan para Ulama, karena berdasar penelitiannya (yang hasilnya (tentunya) perlu dikaji dan diteliti ulang seperti contoh diatas), mereka ‘berani’ menyimpulkan bahwa para Ulama Salaf yang mengikuti salah satu Imam Madzhab ini berhujah dengan hadits-hadits yang lemah atatu dhoif dan pendapat merekalah yang benar (walaupun klaim seperti itu tetaplah menjadi klaim saja, karena telah terbukti berbagai kesalahan dan penyimpangannya dari Al-Haq).

Oleh karena itu para Ulama Salaf Panutan Umat sudah memperingatkan kita akan kelompok orang yang seperti ini sebagai berikut:
 Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadits yang bermadzhab Hanafi menukil pendapat Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibn Abidin Dalam Hasyiyah-nya, yang dirangkum dalam bukunya ‘Daf’ Al-Auham An-Masalah AlQira’af Khalf Al-Imam’, hal. 15: ”Kita melihat pada masa kita, banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan, padahal ia berada dilembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu kitab dari enam kitab hadits (kutub As-Sittah), dan ia menemukan satu hadits yang bertentangan dengan madzhab Abu Hanifah, lalu berkata buang- lah madzhab Abu Hanifah ke dinding dan ambil hadits Rasulallah saw.. Padahal hadits ini telah mansukh atau bertentangan dengan hadis yang sanad nya lebih kuat dan sebab lainnya sehingga hilanglah kewajiban mengamalkan- nya. Dan dia tidak mengetahui. Bila pengamalan hadis seperti ini diserahkan secara mutlak kepadanya maka ia akan tersesat dalam banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan banyak orang ”.

 Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam Jami’ Bayan Al-Ilmu, juz 2 hal. 130, dengan sanadnya sampai kepada Al-Qodhi Al-Mujtahid Ibn Laila bahwa ia berkata: ”Seorang tidak dianggap memahami hadits kalau ia mengetahui mana hadits yang harus diambil dan mana yang harus ditinggal kan”.

 Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, juz 2hal. 427; Ibn Wahab berkata: ”Kalau saja Allah tidak menyelamatkanku melalui Malik Dan Laits, maka tersesatlah aku. Ketika ditanya, mengapa begitu, ia menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadits dan itu membingungkanku. Lalu aku menyampaikannya pada Malik dan Laits, maka mereka berkata : ‘Ambillah dan tinggalkan itu’ ”.

 Imam Malik berpesan kepada kedua keponakannya (Abu Bakar dan Ismail, putra Abi Uwais); ”Bukankah kalian menyukai hal ini (mengumpulkan dan mendengarkan hadits) serta mempelajarinya?, Mereka menjawab: ‘Ya’, Beliau berkata: Jika kalian ingin mengambil manfaat dari hadits ini dan Allah menjadi- kannya bermanfaat bagi kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian dan pelajari- lah lebih dalam”. Seperti ini pula Al-Khatib meriwayatkan dengan sanadnya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih juz II hal. 28.

 Al-Khotib meriwayatkan dalam kitabnya Faqih wa Al-Mutafaqih, juz II hal.15-19, suatu pembicaraan yang panjang dari Imam Al-Muzniy, pewaris ilmu Imam Syafi’i. Pada bagian akhir Al-Muzniy berkata: ”Perhatikan hadits yang kalian kumpulkan.Tuntutlah Ilmu dari para fuqoha agar kalian menjadi ahli fiqh”.

 Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz Ihal. 66, dengan penjelasan yang panjang dari para Ulama Salaf tentang sikap mereka terhadap As-Sunnah, antara lain:
a. Umar bin Khattab berkata diatas mimbar: ”Akan kuadukan kepada Allah orang yang meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan yang diamalkan.

b. Imam Malik berkata: ”Para Ahli Ilmu dari kalangan Tabi’in telah menyampaikan hadits-hadits, lalu disampaikan kepada mereka hadits dari orang lain, maka mereka menjawab: ‘Bukannya kami tidak tahu tentang hal ini, tetapi pengamalannya yang benar adalah tidak seperti ini’ ” .

c. Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah ditanya: ”Sesungguhnya telah sampai kepadaku hadits begini dan begitu (berbeda dengan pendapatnya-pent). Maka ia menjawab: ‘Saya pernah mendengarnya, tetapi aku menyaksikan pengamal annya tidak seperti itu’ ” .

d. Ibn Abi zanad, “Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para Ulama dan Fuqoha untuk menanyai mereka tentang sunnah dan hukum-hukum yang di amalkan agar beliau dapat menetapkan. Sedang hadits yang tidak diamalkan akan beliau tinggalkan, walaupun diriwayatkan dari para perawi yang ter- percaya”. Demikian perkataan Qodhi Iyadh.

e. Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali dalam Kitabnya Fadhl ‘Ilm As-Salaf ‘ala Kholaf’ hal.9, berkata: “Para Imam dan Fuqoha Ahli Hadits sesungguhnya mengikuti hadits shohih jika hadits itu diamalkan dikalangan para Sahabat atau generasi sesudahnya, atau sebagian dari mereka. Adapun yang disepakati untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan, karena tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali atas dasar pengetahuan bahwa ia memang tidak diamalkan”.

Sehingga cukuplah hadits dari Baginda Nabi saw. berikut ini untuk mengakhiri kajian kita ini, agar kita tidak menafsirkan sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya: Artinya : ”Akan datang nanti suatu masa yang penuh dengan penipuan hingga pada masa itu para pendusta dibenarkan, orang-orang yang jujur didustakan; para pengkhianat dipercaya dan orang-orang yang amanah dianggap khianat, serta bercelotehnya para ‘Ruwaibidhoh’. Ada yang bertanya: ‘Apa itu ‘Ruwaibidhoh’? Beliau saw. menjawab: ”Orang bodoh pandir yang berkomentar tentang perkara orang banyak” (HR. Al-Hakim jilid 4 hal. 512 No. 8439 — ia menyatakan bahwa hadits ini shohih; HR. Ibn Majah jilid 2 hal. 1339 no. 4036; HR. Ahmad jilid 2 hal. 219, 338 No. 7899,8440; HR. Abi Ya’la jilid 6 hal. 378 no. 3715; HR. Ath-Thabrani jilid 18 hal. 67 No. 123; HR. Al-Haitsami jilid 7 hal. 284 dalam Majma’ Zawa’id).

NB: (kemudian Syeikh Seggaf meneruskan dengan beberapa wejangan yang penting, demi keringkasan sengaja tidak diterjemahkan , tetapi bila orang ingin merujuknya bisa lihat bahasa Arabnya). Dengan karunia Allah, ini telah cukup dari buku-buku Syeikh Seggaf untuk meyakinkan siapa saja yang mencari kebenaran, biarkan orang-orang itu sendiri bersama-sama mengetahui sedikit tentang ilmu hadits. Perhatikan peringatan Al-Hafidz Ibn Abdil Barr berikut: ”Dikatakan oleh Al-Qodhi Mundzir, bahwa Ibn Abdil Barr mencela dua golongan, yang pertama, golongan yang tenggelam dalam ra’yu dan berpaling dari Sunnah, dan kedua, golongan yang sombong yang berlagak pintar padahal bodoh ” (menyampai- kan hadits, tetapi tidak mengetahui isinya -pent) (Dirangkum dari Jami’ Bayan Al-Ilm juz IIhal. 171).

Syeikhul Islam Ibn Al-Qoyyim Al-Jawziyah berkata dalam I’lamu Al-Muwaqqi’in juz Ihal. 44, dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata: ”Jika seseorang memiliki kitab karangan yang didalamnya termuat sabda Nabi saw. perbedaan sahabat dan tabi’in, maka ia tidak boleh mengamalkan dan menetapkan sekehendak hatinya sebelum menanyakannya pada Ahli Ilmu, mana yang dapat diamalkan dan mana yang tidak dapat diamalkan, sehingga orang tersebut dapat meng- amalkan dengan benar”. Allah Maha Mengetahui. Demikianlah sebagian kecil (seleksi) isi buku Syeikh Segaf tentang kesalahan-kesalahan Al-Albani yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Syeikh Nuh Ha Mim Killer dan kawan-kawan yang kami terjemahkan dan susun kedalam bahasa Indonesia secara bebas.

Sumber: http://www.everyoneweb.com/tabarruk/
Baca Selengkapnya......

SIAPAKAH SYEKH MUHAMMAD NASHIRUDIN AL- ALBANI



Pada akhir-akhir ini diantara ulama yang dibanggakan dan dijuluki oleh sebagian golongan Wahabi/Salafi sebagai Imam Muhadditsin (Imam para ahli hadits) yaitu Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani karena –menurut golongan ini– ilmunya tentang hadits bagaikan samudera tanpa bertepi. Beliau lahir dikota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M. Begitu juga Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz di Saudi Arabia. Ada juga dari golongan Salafi ini berkata bahwa al-Albani sederajad dengan Imam Bukhori pada zamannya. Sehingga semua hadits bila telah dishohihkan atau dilemahkan dan sebagainya, oleh beliau ini, sudah pasti lebih mendekati kebenaran.
Buat ulama-ulama madzhab sunnah selain madzhab Wahabi, julukan dan pujian golongan Wahabi/Salafi terhadap ulama mereka Al-Albani semacam itu tidak ada masalahnya. Hanya sekarang yang dimasalahkan adalah penemuan ulama-ulama ahli hadits dari berbagai madzhab diantaranya dari Jordania yang bernama Syeikh Hasan Ali Assegaf tentang banyaknya kontradiksi dari hadits-hadits dan catatan-catatan yang dikemukakan oleh al-Albani ini jumlahnya lebih dari 1200 hadits.
Judul bukunya yang mengeritik Al-Albani ialah: Tanaqudlaat Albany al-Waadlihah fiima waqo’a fi tashhihi al-Ahaadiits wa tadl’iifiha min akhtho’ wa gholath (Kontradiksi Al-Albani yang nyata terhadap penshahihan hadits-hadits dan pendhaifannya yang salah dan keliru). Sebagian isi buku itu telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang kami terjemahkan dan susun secara bebas dalam bahasa Indonesia. Bagi para pembaca yang ingin membaca seluruh isi buku Syeikh Saggaf ini dan berminat untuk memiliki buku aslinya bisa menulis surat pada alamat: IMAM AL-NAWAWI HOUSE POSTBUS 925393 AMMAN, JORDAN. (Biaya untuk jilid 1 ialah US$ 4,00 belum termasuk ongkos pengiriman (via kapal laut) dan biaya untuk jilid 2 ialah US$ 7, 00 belum termasuk ongkos pengiriman (via kapal laut). Biaya bisa selalu berubah.

Kami mengetahui setiap manusia tidak luput dari kesalahan walaupun para imam atau ulama pakar kecuali Rasulallah saw. yang maksum. Tujuan kami mengutip kesalahan-kesalahan Syeikh Al-Albani ini bukan untuk memecah belah antara muslimin tapi tidak lain adalah untuk lebih meyakinkan para pembaca bahwa Syeikh ini sendiri masih banyak kesalahan dan belum yakin serta masih belum banyak mengetahui mengenai hadits karena masih banyak kontradiksi yang beliau kutip didalam buku-bukunya. Dengan demikian hadits atau riwayat yang dilemahkan, dipalsukan dan sebagainya oleh Syeikh ini serta pengikut-pengikutnya tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, harus diteliti dan diperiksa lagi oleh ulama madzhab lainnya.

Contoh-contoh kesalahan Syeikh Albani ini yaitu umpamanya disatu halaman atau bukunya mengatakan hadits ..Lemah tapi dihalaman atau dibuku lainnya mengatakan hadits (yang sama itu) ....Shohih atau Hasan. Begitu juga beliau disatu buku atau halaman mengatakan bahwa perawi.... adalah tidak Bisa Dipercaya banyak membuat kesalahan dan sebagainya, tapi dibuku atau halaman lainnya beliau mengatakan bahwa perawi (yang sama ini) Dapat Dipercaya dan Baik. Begitu juga beliau disatu halaman atau bukunya memuji-muji perawi...atau ulama...tapi dibuku atau halaman lainnya beliau ini mencela perawi atau ulama (yang sama tersebut). Juga diantara ulama-ulama pengeritik Al-Albani ini ada yang berkata; Kontradiksi tentang hadits Nabi saw. itu atau perubahan pendapat terdapat juga pada empat ulama pakar yang terkenal (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hanbali) atau ulama lainnya!


Perubahan pendapat para ulama ini biasanya yang berkaitan dengan pendapat atau ijtihadnya sendiri. Misalnya; Disalah satu kitab mereka membolehkan suatu masalah sedangkan pada kitabnya yang lain memakruhkan atau mengharamkan masalah yang sama ini atau sebaliknya. Perubahan pendapat ulama ini kebanyakan tidak ada sangkut pautnya dengan hadits yang mereka kemukakan sebelum dan sesudahnya, tapi kebanyakan yang bersangkutan dengan pendapat atau ijtihadnya sendiri waktu mengartikan hadits yang bersangkutan tersebut. Dan seandainya diketemukan adanya kontradiksi mengenai hadits yang disebutkan ulama ini pada kitabnya yang satu dengan kitabnya yang lain, maka kontradiksi ini tidak akan kita dapati lebih dari 10 hadits. Jadi bukan ratusan yang diketemukan.

Tapi yang lebih aneh lagi ulama golongan Salafi (baca:Wahabi) tetap mempunyai keyakinan tidak ada kontradiksi atau kesalahan dalam hadits yang dikemukakan oleh al-AlBani tersebut tapi lebih merupakan ralat, koreksi atau rujukan. Sebagaimana alasan yang mereka ungkapkan sebagai berikut; umpama al-Albani menetapkan dalam kitabnya suatu hadits kemudian dalam kitab beliau lainnya menyalahi dengan kitab yang pertama ini bisa dikatakan bahwa dia meralat atau merujuk hal tersebut! Alasan ini baik oleh ulama maupun awam (bukan ulama) tidak bisa diterima baik secara aqli (akal) maupun naqli (menurut nash). Seorang yang dijuluki ulama pakar oleh sekte Wahabi dan sebagai Imam Muhadditsin karena ilmu haditsnya seperti samudra yang tidak bertepian, seharusnya sebelum menulis satu hadits, beliau harus tahu dan meneliti lebih dalam apakah hadits yang akan ditulis tersebut shohih atau lemah, terputus dan sebagainya. Sehingga tidak memerlukan ralatan yang begitu banyak lagi pada kitabnya yang lain. Apalagi ralatan tersebut –yang diketemukan para ulama– bukan puluhan tapi ratusan! Sebenarnya yang bisa dianggap sebagai ralatan yaitu bila sipenulis menyatakan dibukunya sebagai berikut; hadits ..…yang saya sebutkan pada kitab .… sebenarnya bukan sebagai hadits .....(dhoif, maudhu’ dan sebagainya) tapi sebagai hadits...... ( shohih dan sebagainya). Dalam kata-kata semacam ini jelas si penulis telah mengakui kesalahannya serta meralat pada kitabnya yang lain. Selama hal tersebut tidak dilakukan maka ini berarti bukan ralatan atau rujukan tapi kesalahan dan kekurang telitian si penulis.

Golongan Salafi/Wahabi ini bukan hanya tidak mau menerima keritikan ulama-ulama yang tidak sependapat dengan ulama mereka, malah justru sebaliknya mengecam pribadi ulama-ulama yang mengeritik ini sebagai orang yang bodoh, golongan zindik, tidak mengerti bahasa Arab, dan lain sebagainya. Mereka juga menulis hadits-hadits Nabi saw. dan wejangan ulama-ulamanya –untuk menjawab kritikan ini– tetapi sebagian isinya tidak ada sangkut pautnya dengan kritikan yang diajukan oleh para ulama madzhab selain madzhab Salafi (baca:Wahabi)!! Alangkah baiknya kalau golongan Salafi ini tidak mencela siapa/ bagaimana pribadi ulama pengeritik itu, tapi mereka langsung membahas atau menjawab satu persatu dengan dalil yang aqli dan naqli masalah yang dikritik tersebut. Sehingga bila jawabannya itu benar maka sudah pasti ulama-ulama pengeritik ini dan para pembaca akan menerima jawaban golongan Wahabi dengan baik. Ini tidak lain karena keegoisan dan kefanatikan pada ulamanya sendiri sehingga mereka tidak mau terima semua keritikan-keritikan tersebut, dan mereka berusaha dengan jalan apa pun untuk membenarkan riwayat-riwayat atau nash baik yang dikutip oleh al-Albani maupun ulama mereka lainnya. Sayang sekali golongan Salafi ini merasa dirinya yang paling pandai memahami ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw., paling suci, dan merasa satu-satunya golongan yang memurnikan agama Islam dan sebagainya. Dengan demikian mudah mensesatkan, mensyirikkan sesama muslimin yang tidak sepaham dengan pendapatnya.

Sumber: http://www.everyoneweb.com/tabarruk/

Baca Selengkapnya......

TAJSIM/PENJASMANIAN &TASYBIH/PENYERUPAAN ALLAH SWT. KEPADA MAKHLUK-NYA

Golongan Wahabi/Salafi melarang orang mentakwil ayat-ayat Ilahi atau hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan dengan shifat. Jadi bila ada kata-kata di alqur’an dan hadits wajah Allah, tangan Allah dan seterusnya harus diartikan juga sebagai wajah dan tangan Allah secara sesungguhnya serta kita tidak boleh membayangkan-Nya atau bertanya tentangnya. Sebagaimana yang telah dikemukakan yaitu pengalaman seorang pelajar dikota Makkah berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra –yang suka menyalahkan dan juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengannya–mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/bolehnya melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat mutasyabihat/samar. Ulama tunanetra yang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat mutasyabihat, langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelakuan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu –setelah didamprat habis-habisan– dengan tenang memberi komentar: ‘Kalau saya tidak boleh takwil, maka andaakan buta di akhirat’. Ulama tunanetra itu bertanya: ‘Mengapa anda mengatakan demikian?’. Dijawab: Bukankah dalam surat al–Isra’ ayat 72 Allah swt. berfirman: ’Barangsiapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar’. Kalau saya tidak boleh takwil, maka buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata dan tentunya nasib anda nanti akan sangat menyedihkan yakni buta diakhirat karena didunia ini anda telah buta mata (tunanetra).
Karenanya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat diatas –menurut mereka– diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa!



Sebagaimana sering diutarakan dalam buku ini bahwa golongan Wahabi dan pengikutnya, percaya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya tekst) atau literal dan tidak ada arti majazi atau kiasan didalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami hal tersebut. Kami mengutip berikut ini beberapa ayat Ilahi yang mutasyabihat (kalimat perumpamaan atau kalimat samar) dalam menerangkan keadaan diri-Nya, seperti dalam firman-firman-Nya:



Dalam surat all-Araf 54: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber semayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang meng- ikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.



Dalam surat An-Nur: 35 : “ … Allah adalah cahaya langit dan bumi”.



Dalam surat As-Shaad 75 : “ ...hai iblis apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku “. Dalam surat Al-Fushilat 12 : ”maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari…”.



Dalam surat Al-Baqarah 186 : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku ini dekat …”. Dalam surat Qaaf 16 : “..dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” .



Dalam surat Al-Fushilat 5 : “ .. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha meliputi segala sesuatu “.

Dalam surat Al-Baqarah 115 : “.. kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah ..“ dan juga masih ada firman-friman Allah lainnya yang mutasyabihaat.



Sangat jelas bagi kita, bahwa ungkapan-ungkapan mutasyabihat ayat-ayat diatas ini, dimengerti bukan untuk ditafsirkan secara hakiki/arti sebenarnya, tetapi boleh ditafsirkan secara majazi/kiasan atau sesuai dengan ke Maha Suci dan ke Maha Agungan-Nya. Bila ayat-ayat diatas ini mempunyai arti yang sebenarnya, maka jelaslah bahwa Allah swt. –na’udzubillah– mempunyai sifat seperti makhluk-Nya. Yang mana hal ini telah dibantah sendiri oleh Allah swt. dalam firman-Nya:‘ Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’ (QS Asy-Syuura [42]:11) ; ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS Al-An’aam [6] : 103) ; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’. ( QS Ash-Shaffaat : 159) dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.



Alqur’an didalam mengungkapkan suatu masalah ada yang konkrit, misalnya hukum waris, hukum syariat mu’amalat, dijelaskan dengan kalimat yang bukan kiasan, yaitu muhkamat artinya sudah jelas, tidak perlu ditafsirkan lagi, seperti shalatlah kamu, bayarlah zakat dan sebagainya. Akan tetapi kalau sudah mencakup persoalan ghaib, misal: tentang Allah, rahasia langit, peralatan akhirat, surga, neraka dan lain-lain maka Alqur’an menggunakan kalimat perumpamaan (metafora), yang biasa disebut mutasyabihaat. Kurang tepat juga bila dikatakan kalau Allah berada di mana-mana, walau pun difirmankan “….kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. Juga tidak pula bisa dikatakan bahwa Allah berada di langit atas sana sehingga kita harus menunjuk kearah atas atau ketika kita berdo’a kita menengadahkan tangan keatas sambil dibenak/dipikiran kita beranggapan bahwa Allah seolah-olah ada dilangit diatas nun jauh disana. Sekali lagi kalau dikatakan Allah dilangit atas sana berarti Allah bertempat tinggal di langit dan kalau demikian jadinya berarti selain dilangit apakah tidak ada Allah –na’udzubillah–.



Hakikat langit yang sebenarnya bukanlah berupa alam fisik, seperti dzan (persangkaan) kita selama ini. Dia Maha meliputi segala sesuatu. Begitu juga bila Allah swt. memerlukan singgasana (’Arsy), seakan-akan Allah setelah membuat langit dan bumi berserta isinya naik kembali ke tahta-Nya? Kalau Allah memerlukan singgasana (’Arsy) berarti Allah memerlukan ruangan untuk bertempat tinggal?, na’udzubillah. Alangkah kelirunya bila orang mengartikan ayat-ayat ilahi yang mutasyabihaat (samar) ini secara hakiki/arti sebenar- nya. Mereka mengatakan Allah dalam menciptakan iblis menggunakan kedua tangan-Nya secara hakiki, dan dikatakan Allah mempunyai wajah –na’udzu billah– dan lain sebagainya secara hakiki.



Dengan adanya riwayat-riwayat demikian, Allah swt. menjadi seorang makhluk– Na’udzubillah– yang mempunyai sifat-sifat hakiki yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Bahwa istilah ‘langit’ bukan hanya melukiskan alam fisik saja tetapi keseluruhannya, dari alam terendah sampai tertinggi, dari alam ghaib sampai alam maha ghaib. Istilah ‘langit’ digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang ghaib, dan bukan melulu alam fisik. Banyak ahli tafsir yang mengartikan makna-makna ayat Allah swt., umpamanya: “Kursi Allah meliputi langit dan bumi. “ Kata Kursi dalam ayat ini berarti Ilmu, jadi ayat ini diartikan sebagai berikut: “Ilmu Allah meliputi langit dan bumi”. Begitu juga firman-firman Allah swt.: Wajah Allah berarti Dia Allah, Tangan Allah berarti Kekuasaan Allah, Mata Allah berarti Pengawasan Allah dan lain sebagainya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengan ke Maha Sucian dan ke Maha Agungan-Nya. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an.



Marilah kita teliti lagi berikut ini beberapa contoh saja dari ayat Al-Qur’an dan hadits yang ditakwil (digeser) dari makna aslinya/dhahirnya tekst dan firman-firman Allah swt. yang mutasyabihat boleh diartikan sesuai dengannya, dengan demikian tidak akan berbenturan dengan firman-firman Allah swt. yang lain. Diantara sahabat besar yang berjalan diatas kaidah takwil adalah Sayyiduna Ibnu Abbas ra., anak paman Rasulallah saw. dan murid utama Imam Ali -karramallahu wajhahu- yang pernah mendapat do’a Nabi saw. , “Ya Alah ajarilah dia (Ibnu Abbas) tafsir Kitab (Al Qur’an).” (HR. Bukhari). Telah banyak riwayat yang menukil takwil beliau tentang ayat-ayat sifat dengan sanad yang shahih dan kuat.



1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat: يومَ يُكْشَفُ عَنْ ساقٍ

“Pada hari betis disingkapkan.” (QS.68 [al Qalam]:42)

Ibnu Abbas ra. berkata (ayat itu berarti): “Disingkap dari kekerasan (kegentingan).” Disini kata ساقٍ (betis) dita’wîl dengan makna شِدَّةٌ kegentingan.



Ta’wîl ayat di atas ini telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29/38. Ia mengawali tafsirnya dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli ta’wîl, maknanya (ayat al-Qalam:42) ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang genting.”



Dari sini tampak jelas bahwa menta’wîl ayat sifat adalah metode dan diamal- kan para sahabat dan tabi’în. Mereka adalah salaf kita dalam metode ini. Ta’wîl itu juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said ibn Jubair, Qatadah dan lain-lain.



2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat: و السَّمَاءَ بَنَيْناهَا بِأَيْدٍ و إِنَّا لَمُوسِعُونَ

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS.51 [adz Dzâriyât] : 47)



Kata أَيْدٍ secara lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jama’ dari kata يَدٌ. (Baca Al Qamûs al Muhîth dan Tâj al ‘Ârûs,10/417.)

Akan tetapi Ibnu Abbas ra’ mena’wîl arti kata tangan dalam ayat Adz-Dzariyat ini dengan بِقُوَّةٍ artinya kekuatan. Demikian diriwayatkan al-Hafidz Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27.



Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh tabi’în dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.



3). Allah swt. berfirman: فَاليومَ نَنْساهُمْ كما نَسُوا لِقاءَ يومِهِم هَذَا

“Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupa kan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS.7 [al A’râf];51)



Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat ini yang menyebut (Allah) melupakan kaum kafir dengan ta’wîl ‘menelantarkan/membiarkan’.

 Ibnu Jarir berkata: ‘Yaitu maka pada hari ini yaitu hari kiamat, Kami melupakan mereka, Dia berfirman, Kami membiarkan mereka dalam siksa..’ (Tafsir Ibnu Jarir, 8/201)



Di sini Ibnu Jarir mena’wîl kata melupakan dengan membiarkan. Dan ia adalah penggeseran sebuah kata dari makna aslinya yang dhahir kepada makna majazi/kiasan. Beliau telah menukil ta’wîl tersebut dengan berbagai sanad dari Ibnu Abbas ra., Mujahid dan lain-lain.



Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat besar dan pakar dalam tafsir Al Qur’an….Mujahid adalah seorang tabi’în agung…Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf…



 Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat Hadits qudsi: -

“Hai anak Adam, Aku sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] ber- kata, ‘Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul ‘Âlamîin?’ Allah menjawab, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…“ (HR. Muslim,4/1990, Hadits no.2569)



Apakah boleh kita mengatakan; Kita akan menetapkan bagi Allah sifat sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita ( makhluk-Nya)? Bolehkah kita meyakini menurut dhahir/lahir kalimat tanpa memasukkan unsur kiasan jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit, dan Dia akan berada di sisi si hamba yang sakit itu? Pasti tidak boleh !!



Bahkan kita berhak mengatakan bahwa siapa saja yang mensifati Allah dengan Sakit atau Dia sedang Sakit dia benar-benar telah kafir! Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti orang pertama/aku/si pembicara yaitu Allah. Jadi berdasarkan dhahir tekts dalam hadits itu, Allah-lah yang sakit. Tetapi pastilah dhahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus dita’wîl. Demikian pandangan setiap orang berakal. Dan ini adalah sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan ta’wîl kepada kita.



Jadi makna hadits di atas menurut para ulama sebagaimana diuraikan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim sebagai berikut; “Para ulama berkata, ‘disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba sebagai tasyrîf, pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Para ulama berkata tentang maksud engkau akan dapati Aku di sisinya (ialah) engkau akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku… “ (Syarah Shahih Muslim,16/126)



Begitu juga dalam pembuktian bahwa Allah swt. berada/bersemayam di atas langit, kaum Mujassimah antara lain ulama madzhab Wahabi Nâshiruddîn al Albani dalam Mukhtashar al Uluw dan Syeikh as Sabt dalam kitab Ar Rahmân ’Alâ al Asryi Istawâ membawakan beberapa hadits, sebagiannya shahih sanadnya, sementara sebagian lainnya cacat secara kualitas sanad- nya (walaupun oleh sebagian ulama madzhab ini dianggap sebagai hadits shahih). Adapun hadits-hadits yang shahih sanadnya tidak jarang mereka salah dalam memaknainya, akibatnya mereka mempercayai kepada syubhat konsep Tajsîm dan Tasybîh. Untuk lebih jelasnya mari kita ikuti istidlâlh/ upaya pengajuan dalil oleh mereka.Hadis Pertama:َ



أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ ، يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً



“Tidaklah kalian percaya padaku, padahal aku ini kepercayaan yang dilangit, dimana khabar datang kepadaku pada pagi dan sore hari” (HR. Bukhari dan Muslim)



Setiap ayat/hadits yang menyebut kata: مَنْ فِى السَّمَاءuntuk Allah swt. maka yang dimaksud dalam bahasa orang-orang Arab (yang Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka) adalah makna majâzi/kiasan, yaitu berarti keagung an, kemuliaan dan ketinggian maknawi, bukan ketinggian hissi (material). Seorang pujangga Arab klasik bersyair:



علونا السماءَ مَجْد ُنا وجدودُنا*** و إِنَّا لنبغِي فوق ذلك مظهرا



Kami menaiki langit, kejayaan dan moyang kami*** dan kami menginginkan kemenangan di atas itu.



Jelas sekali bahwa yang dimaksud menaiki/meninggii langit bukan langit fisik di atas kita itu, akan tetapi langit kemuliaan dan keagungan. Demikianlah yang dimaksud dalam setiap nash yang datang dengan redaksi: مَنْ فِى السَّمَاء (andai ia shahih tentunya). Hal demikian dikarenakan dasar-dasar yang pasti dalam al-Qur’an dan as-Sunnah shahihah yang mengharuskan kita mensucikan Allah swt. dari sifat-sifat hakiki pada makhluk-Nya umpama; ber- semayam, bersentuhan dan bertempat di atas langit atau di atas bumi /ber tempat pada makhluk-Nya.



Hadits di atas dalam riwayat Bukhari dan Muslim, telah mengalami “olah kata” oleh perawi. Artinya si perawi meriwayatkannya dengan makna saja, ia tidak menghadirkan redaksi sebenarnya. Akan tetapi seperti telah kami singgung, kaum Mujassimah (golongan yang menjasmanikan Allah) lebih cenderung membuka mata mereka kearah hadits di atas ketimbang membuka mata mereka terhadap riwayat lain dari hadits yang juga diriwayat-kan Imam Bukhari. Coba perhatikan, dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat banyak redaksi periwayatan hadits di atas yang tersebar di beberapa tempat, akan tetapi tidak memuat kata: مَنْ فِى السَّمَاء yang tentunya tidak akan membantu kaum Mujassimah, karenanya hadits itu selalu dikesampingkan (tidak pernah mereka gubris). Perhatikan hadits di bawah ini:



فَمن يُطيعُ اللهَ إذا عصيْتُهُ، فَيَأْمَنُنِي على أهلِ الأرضِ ولا تَأْمَنُونِى؟!



“Siapakah yang mena’ati Allah jika aku (Nabi saw.) menentangnya?! Dia (Allah) mempercayaiku untuk mengurus penduduk bumi sedangkan kalian tidak mempercayaiku?!” Coba perhatikan redaksi hadits di atas, kemudian bandingkan dengan redaksi hadits sebelumnya yang juga diriwayatkan Bukhari!



Al-Hâfidz Ibnu Hajar al-Asqallani mengomentari hadits tersebut dengan kata-katanya, “Nanti akan dibicarakan makna sabda (kata-kata): مَنْ فِى السَّمَاء pada Kitab at-Tauhid. Kemudian seperti beliau janjikan, beliau menguraikan makna kata tersebut:



“Al-Kirmâni berkata, ‘Sabda: مَنْ فِى السَّمَاءmakna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian Dzat dan sifat-Nya.’ Dan seperti inilah para ulama selainnya menjawab/menerangkan setiap kata yang datang dalam nash yang menyebut kata atas dan semisalnya.” (Fathu al Bâri,28/193)



Andai seorang mau merenungkan dan meresapi keterangan di atas pasti ia akan selamat dari syubhat kaum Mujassimah dan pemuja riwayat yang mutasyabihat yakni golongan al-hasyawiyah. Jadi para ulama telah mengarti- kan/memaknai hadits-hadits yang memuat redaksi yang mengesankan keberadaan Allah swt. di sebuah tempat dengan pemaknaan yang sesuai dengan Kemaha Sucian dan Kemaha Agungan Allah swt.. Akan tetapi golongan Mujassimah dan mereka yang tertipu oleh syubhat kaum Mujasimah ini lebih tertarik mengemukakan hadits-hadits dengan redaksi yang mendukung konsep dan pandangan Tajsîm yang mereka yakini, walaupun mereka enggan disebut sebagai Pewaris Madzhab Mujassimah. Disamping yang telah dikemukakan tadi, masih banyak lagi hadits-hadits Shifat yang tidak tercantum disini yang ditakwil maknanya oleh para ulama pakar (antara lain Imam Bukhori, Muslim dan lainnya) sesuai dengan sifat Kemaha-Sucian dan Kemaha-Agungan Allah swt. Umpama lagi kata, و جاء رَبُّكَ arti secara bahasa; ‘Dan datanglah Tuhamu’ ,tapi ditakwil oleh para ulama pakar ialah: جاء ثوابُهُ artinya: ‘Datang pahala-Nya’. Dan kata الضحك atau يَضْحَكُ artinya secara bahasa tertawa tapi ditakwil oleh para ulama pakar berarti Rahmat dan ada lagi yang mengartikan kerelaan dan kebaikan balasan. Tertawa yang dialami manusia misalnya adalah dengan membuka mulut, dan tentunya makna ini mustahil disamakan maknanya atas Allah swt..



Nah kalau kita baca, bukankah banyak para ulama pakar memalingkan kata-kata yang dzahirnya menunjukkan tajsim dengan memaknai yang sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah swt.? Dengan menafsirkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah swt, maka tidak akan berlawanan dengan firman-firman Ilahi yang telah dikemukakan, (QS. Asy-Syuura [42]:11; QS Al-An’aam [6] : 103; QS Ash-Shaffaat [37] : 159) atau ayat-ayat lainnya yang serupa. Untuk lebih lengkapnya bacalah kitab Daf’u Syubahi At Tasybih bi Akuffi At-Tanzih karya Ibnu al-Jauzi, seorang ulama bermadzhab Imam Ahmad bin Hanbal, disana semua syubhat yang selama ini menghinggap dalam pikiran sebagian golongan muslimin, insya Allah tersingkap…. atau paling tidak mereka mengetahui dalil-dalil para ulama yang menentang aliran Mujassimah.



Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun di dalam masalah sifat”, beliau juga mengatakan, “Saya tidak menemu kan hingga saat sekarang ini seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat”, disertai dengan pengakuannya bahwa beliau telah merujuk seratus kitab tafsir. Tetapi nyatanya ada kalangan salaf yang berbeda pendapat! Disamping contoh yang telah dikemukakan diatas, kita ambil contoh riwayat Ath-Thabari berikut ini yang mana Ibnu Taimiyyah mengenai kitab tafsir Ath-Thabari mengatakan sebagai berikut, “Didalamnya tidak terdapat bid’ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang menjadi tertuduh.” (Al-Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, hal 51). Ketika kita merujuk kepada ayat kursi yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap termasuk salah satu ayat sifat yang terbesar, sebagaimana yang beliau katakan didalam kitab al-Fatawa al-Kabirah, jilid 6, hal 322.



– Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah swt. yang berbunyi, “Kursi Allah meliputi langit dan bumi”. Ath-Thabari berkata, “Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.’ Adapun riwayat lainnya yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya’ Bukankah kita melihat didalam firman-Nya, ‘Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya’”(Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 7).



Berikut ini contoh yang kedua, yang masih berasal dari kitab tafsir Ath-Thabari. Pada saat menafsirkan firman Allah swt. yang berbunyi, “Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar”, Ath-Thabari berkata, “Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.’ Sebagian mereka berpendapat, ‘Artinya ialah, ‘Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.’ Mereka menolak makna ‘Dia Mahatinggi dari segi tempat.’ Mereka mengatakan, ‘Dia tidak ada di suatu tempat’. Maknanya bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah swt. ada disebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain’”. (Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 9).



Demikianlah pendapat kalangan salaf, yang tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah swt., sementara Ibnu Taimiyyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah swt., didalam risalah yang ditujukannya bagi penduduk kota Hamah. Bahkan, tatkala beliau sampai kepada firman Allah swt. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah swt. bersemayam di atas ‘Arsy’ “, beliau mengatakan, “Sesungguhnya Dia berada diatas langit”. (Al-’Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, yang merupakan kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyyah, hal 329 - 332). Yang beliau maksud adalah ‘Tempat’.



Adapun didalam kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap juga sebagai kitab tafsir yang paling dapat dipercaya, disebutkan beberapa riwayat Ibnu Abbas yang telah disebutkan oleh Ath-Thabari di dalam kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu ‘Athiyyah memberikan komentar tentang beberapa riwayat yang disebutkan oleh Ath-Thabari, yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Taimiyyah, “Ini adalah perkataan-perkataan bodoh dari kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim, wajib hukumnya untuk tidak menceritakannya.” (Faidh al-Qadir, asy-Syaukani.) Berikut ini adalah bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya’ (QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. ar-Rahman: 27), dimana dengan perantaraan kedua ayat ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah swt. dalam arti yang sesungguhnya.



Ath-Thabari berkata, “Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, ‘kecuali wajah-Nya’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia. Sementara sebagian lain berkata bahwa maknanya ialah, kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka; ‘Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan.’” (Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal. 82). Al-Baghawai berkata, “Yang dimaksud dengan ‘kecuali wajah-Nya’ ialah ‘kecuali Dia’.

Ada juga yang mengatakan, ‘kecuali kekuasaan-Nya’”. Abul ‘lyalah berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” (Tafsir al-Baghawi).

Didalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, “Artinya ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’ “. Dari Mujahid yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya.’”



Dari Sufyan yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh’ “. Oleh karena itu –para ulama sezaman dengan Ibnu Taimiyyah– tidak tinggal diam atas perkataan-perkataannya (yang menyifati Allah swt. secara hakiki). Mereka memberi fatwa tentangnya dan memerintahkan manusia untuk menjauhinya. Dikarenakan keyakinan-keyakinan tajsim dan tasybih itu, akhirnya Ibnu Taimiyyah dipenjara, dilarang menulis didalam penjara, dan kemudian beliau meninggal dunia didalam penjara dikota Damaskus.



Banyak dari kalangan para ulama dan huffadz yang telah menulis kitab untuk membantah keyakinan-keyakinan beliau ini. Umpamanya, Adz-Dzahabi telah menulis surat kepadanya, yang berisi kecaman terhadapnya atas keyakinan-keyakin an yang dibawanya. Surat adz-Dzahabi tersebut cukup panjang, yang mana ‘Allamah al-Amini telah menukil surat adz-Dzahabi ini secara lengkap di dalam kitab al-Ghadir, jilid 7, hal 528, yang dia nukil dari kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil, karya al-Kautsari, hal.190.



Berdasarkan kaidah yang ditegakkan diatas pondasi Al Qur’an dan Sunnah yang telah dikemukakan, para sahabat, tabi’in dan para imam mujtahidin diatas methode inilah mereka berjalan dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan Shifat. Masih banyak lagi pendapat para ulama baik yang mentakwil maupun yang tidak mentakwil ayat-ayat atau hadits-hadits shifat itu yang tidak tercantum disini. Ulama yang tidak mentakwil hanya menyebutkan apa adanya tekts saja –yaitu menurut bacaannya saja– mereka menyerahkan kepada Allah swt. pe-makna-annya.



Catatan:

Para tokoh ulama Wahabiyah –seperti Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu– tidak meragukan sedikitpun keagungan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau dan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh ahli tafsir generasi tabi’în (Fathu al Majîd Syarah KItab at Tauhîd:405).. Ketika menyebut Mujahid misalnya, Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu Syeikh berkata: Mujahid adalah Syeikh, tokoh ahli tafsir, seorang Imam Rabbani, nama lengkapnya Mujahid ibn Jabr al Makki maula Bani Makhzûm. Fadhl ibn Maimûn berkata, ‘Aku mendengar Mujahid berkata, ‘Aku sodorkan mush-haf kepada Ibnu Abbas beberapa kali, aku berhenti pada setiap ayat, aku tanyakan kepadanya; tentang apa Dia (Allah) turun? Bagaimana Dia turun? Apa maknanya?. Ia (Mujahid) wafat tahun 102H pada usia 83 tahun, semoga Allah merahmatinya. Ibnu Abdil Wahhab sendiri telah berhujjah dan mengandalkannya dalam banyak masalah dalam kitab at-Tauhid-nya.



Dengan demikian ke-salaf-an mereka tidak diragukan bahkan diakui oleh golongan Wahabiyah sendiri! Jadi sekali lagi jelaslah bahwa metode takwîl telah dilakukan oleh para salaf. Dan diatas methode inilah para ulama, seperti Imam al-Asy’ari dan para pengikutnya berjalan. Jadi jika ada yang menuduh sikap mentakwil adalah sikap menyimpang dan berjalan diatas kesesatan faham Jahmiyah, dan ber-ilhad (secara bahasa berarti membelokkan/memiringkan) dalam ayat-ayat dan asmâ Allah sebagaimana yang dituduhkan kaum Wahabi –seperti Ibnu Utsaimin (Syarah Aqidah al Washit- hiyah: 58-63) dan kawan-kawannya– maka ia benar-benar dalam kekeliruan yang nyata!!



Demikianlah sebagian contoh tentang takwil ayat Ilahi dan masih banyak lagi arti ayat Ilahi yang ditakwil oleh para sahabat dan tabi’in yang tidak dikemukakan disini. Sebagaimana yang telah dikemukakan tadi bahwa madzhab Wahabi/Salafi untuk menetapkan kesucian Allah swt., mereka mengatakan; Allah swt. mempunyai jasmani namun tanpa bentuk, Allah mempunyai darah namun tanpa bentuk, Allah mempunyai daging namun tanpa bentuk, dan Allah mempunyai rambut namun tanpa bentuk dan sebagainya! Ini semua adalah keyakinan yang tidak benar!



Mari sekarang kita teliti lagi riwayat-riwayat berikut ini –jelas mengarah dan menunjukkan tajsim dan tasybih– yang mana golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya menyakini serta mempercayai adanya hadits mengenai Tajsim/ Penjasmanian dan Tasybih/ Penyerupaan Allah swt. sebagai makhluk-Nya secara hakiki/yang sebenarnya tapi tanpa bentuk (Bi la Kaif). Yang mana hal ini telah dibantah sendiri oleh Allah swt. Dalam (QS Asy-Syuura:11, QS Al-An’aam : 103, QS Ash-Shaffaat : 159) dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.



– Berkata Wahab bin Munabbih waktu ditanya oleh Jaad bin Dirham tentang asma wa sifat: Celaka engkau wahai Jaâd karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Jaâd, kalau saja Allah tidak mengkabar- kan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya. Bertakwalah engkau kepada Allah! (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 190)



– Abdullah ibn Ahmad rh. meriwayatkan, disertai dengan menyebut sanad-sanadnya. Beliau berkata, “Rasulallah saw. telah bersabda; ’Tuhan kita telah menertawakan keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang lainnya. Perawi berkata; ‘Saya bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah Tuhan tertawa?’ Rasulallah saw. menjawab, ‘Ya.’ Saya berkata, ‘Kita tidak ke hilangan Tuhan yang tertawa dalam kebaikan’ “. [Kitab as-Sunnah, hal. 54].



– Abdullah ibn Ahmad berkata, “Saya membacakan kepada ayahku. Lalu, dia menyebutkan sanadnya hingga kepada Sa’id bin Jubair yang berkata, Sesungguhnya mereka berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia mengatakan merah atau tidak?’ Saya berkata kepada Sa’id bin Jubair, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu zamrud dan naskah tulisan emas, yang Tuhan menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit dapat mendengar suara gerak pena-Nya.” [Kitab as-Sunnah, hal. 76].



– Abdullah ibn Ahmad berkata, “Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari Abi ‘Ithaq yang berkata, ‘Allah menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan punggungnya kebatu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa dapat mendengar bunyi pena Tuhannya, sementara tidak ada penghalang antara dirinya dengan Tuhannya kecuali sebuah tirai.’” [Kitab as-Sunnah, hal. 76].



Mari kita baca lagi riwayat lainnya dibawah ini yang menetapkan bahwa Allah mempunyai jari, dan mereka juga menetapkan bahwa di antara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah didalam kitab at-Tauhid dengan bersanad dari Anas bin Malik ra yang berkata;



– Rasulallah saw. telah bersabda; ‘Manakala Tuhannya menaiki gunung, Dia mengangkat jari kelingking-Nya, dan mengerutkan sendi jari kelingking nya itu, sehingga dengan begitu lenyaplah gunung.Humaid bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu akan menyampaikan hadits ini?’ Dia menjawab, ‘Anas menyampaikan hadits ini kepada kami dari Rasulallah, lalu kamu menyuruh kami untuk tidak menyampaikan Hadits ini?’ “ [Kitab at-Tauhid, hal 113; Kitab as-Sunnah, hal. 65]

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah swt. mempunyai tangan, tangan-Nya mempunyai jari, dan diantara jari-Nya itu ialah jari kelingking. Kemudian mereka juga mengatakan jari kelingking itu mempunyai sendi...!!



– Abdullah rh juga berkata, dengan bersanad dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw. yang bersabda;”Sesungguhnya kekasaran kulit orang Kafir panjangnya tujuh puluh dua hasta, dengan ukuran panjang tangan Yang Maha Perkasa.” [Kitab at-Tauhid, hal. 190]. Dari Hadits ini dapat dipahami, Tuhan mempunyai dua tangan, juga kedua tangan Tuhan mempunyai ukuran panjang tertentu. Karena jika tidak, maka tidak mungkin kedua tangan tersebut menjadi ukuran bagi satuan panjang.



– Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rh, dengan bersanad kepada Anas bin Malik yang berkata, “Rasulallah saw. telah bersabda, ‘Orang-orang kafir dilemparkan kedalam neraka. Lalu neraka berkata, ‘Apakah masih ada tambahan lagi ?, maka Allah pun meletakkan kaki-Nya kedalam neraka, sehingga neraka berkata, ‘Cukup, cukup’ “. [Kitab at-Tauhid, hal. 184].



– Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw. yang bersabda; “Neraka tidak menjadi penuh sehingga Allah meletakkan kaki-Nya kedalamnya. Lalu, nerakapun berkata, ‘Cukup cukup.’ Ketika itulah neraka menjadi penuh.” [Kitab at-Tauhid, hal. 184]. Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa Allah swt. mempunyai kaki.

Ada riwayat lebih jauh lagi dengan menetapkan bahwa Allah swt. mempunyai nafas. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, dengan bersanad kepada Ubay bin Ka’ab yang berkata, “Janganlah kamu melaknat angin, karena sesungguhnya angin berasal dari nafas Tuhan.” [Kitab as-Sunnah, hal. 190].



– Mereka juga menetapkan dan bahkan menyerupakan suara Allah dengan suara besi. Abdullah bin Ahmad, dengan sanadnya telah berkata, “Jika Allah berkata-kata menyampaikan wahyu, para penduduk langit mendengar suara bising tidak ubahnya suara bising besi di suasana yang hening.” [Kitab as-Sunnah, hal. 71].

Selanjutnya, riwayat berikut ini yang menetapkan bahwa Allah swt. duduk dan mempunyai bobot. Oleh karena itu, terdengar suara derit kursi ketika Allah sedang duduk diatasnya. Jika Allah tidak mempunyai bobot, lantas apa arti dari suara derit?



– Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, dengan bersanad dari Umar ra yang berkata, “Jika Allah duduk di atas kursi, akan terdengar suara derit tidak ubahnya seperti suara deritnya koper besi.” [Kitab as-Sunnah, hal.79]. Atau, tidak ubahnya seperti suara kantong pelana unta yang dinaiki oleh penunggang yang berat.

Beliau juga mengatakan, dengan bersanad kepada Abdullah ibn Khalifah, “Seorang wanita telah datang kepada Nabi saw. lalu berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah supaya Dia memasukkan saya kedalam surga.’ Nabi saw. berkata, Maha Agung Allah.’ Rasulallah saw. kembali berkata, ‘Sungguh luas kursi-Nya yang mencakup langit dan bumi. Dia mendudukinya, sehingga tidak ada ruang yang tersisa darinya kecuali hanya seukuran empat jari. Dan sesungguhnya Dia mempunyai suara tidak ubahnya seperti suara derit pelana tatkala dinaiki’ “. [Kitab as-Sunnah, hal. 81].



Ada riwayat yang mengatakan lebih dari itu umpama didalam sebuah hadits disebutkan, Allah swt. menciptakan Adam berdasarkan wajah-Nya, setinggi tujuh puluh hasta. Dengan demikian manusia akan membayangkan bahwa Allah swt. akan mempunyai wajah yang berukuran tingginya seperti wajah Adam as. Hadits-hadits diatas dan berikut ini juga tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya karena bertentangan dengan firman Allah swt..



Ada juga hadits yang menetapkan bahwa Allah swt. dapat dilihat, mempunyai tangan yang dingin dan sebagainya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, dengan bersanad kepada Ibnu Abbas yang berkata:



– Rasulallah saw. telah bersabda, “Aku melihat Tuhanku dalam bentuk-Nya yang paling bagus. Lalu Tuhanku berkata, ‘Ya Muhammad.’ Aku menjawab, ‘Aku datang memenuhi seruan-Mu.’ Tuhanku berkata lagi, ‘Dalam persoalan apa malaikat tertinggi bertengkar’? Aku menjawab, ‘Aku tidak tahu, wahai Tuhanku.’ Rasulallah saw. melanjutkan sabdanya, ‘Kemudian Allah meletakkan tangan-Nya diantara dua pundak-ku, sehingga aku dapat merasakan dinginnya tangan-Nya diantara kedua tetek-ku, maka akupun mengetahui apa yang ada di antara timur dan barat’ “. (Kitab at-Tauhid, hal. 217).



– Riwayat yang lebih aneh lagi Abdullah bin Ahmad juga berkata, sesungguhnya Abdullah bin Umar bin Khattab ra mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas ra., Abdullah bin Umar bertanya, ‘Apakah Muhammad telah melihat Tuhan-nya?’ Maka Abdullah bin Abbas pun mengirim surat jawaban kepadanya. Abdullah bin Abbas menjawab, ‘Benar.’ Abdullah bin Umar kembali mengirim surat untuk menanyakan bagaimana Rasulallah saw. melihat Tuhan-nya. Abdullah bin Abbas mengirim surat jawaban, ‘Rasulallah saw. melihat Tuhannya di sebuah taman yang hijau, dengan permadani dari emas. Dia tengah duduk di atas kursi yang terbuat dari emas, yang diusung empat orang malaikat. Seorang malaikat dalam rupa seorang laki-laki, seorang lagi dalam rupa seekor sapi jantan, seorang lagi dalam rupa seekor burung elang dan seorang lagi dalam rupa seekor singa.’” [Kitab at-Tauhid, hal. 194].



Dengan adanya riwayat-riwayat ini semua, jelas Allah swt. menjadi seorang makhluk –na’udzubillahi– yang mempunyai sifat-sifat hakiki/sebenarnya yang dimiliki oleh makhluk-Nya.

Semua riwayat hadits tersebut jelas menunjukkan tajsim atau tasybih Allah kepada makhluk-Nya dan hal itu bertentangan dengan firman Allah swt. yang telah dikemukakan tadi. Umpama saja riwayat-riwayat shohih maka makna yang berkaitan dengan shifat Allah swt. harus disesuaikan dengan ke Maha Sucian dan ke Maha Agungan-Nya!! Jika tidak demikian, maka jelas sekali riwayat-riwayat itu mengarah kepada sifat-sifat yang ada kepada Makhluk-Nya secara hakiki. Orang yang mempercayai hadits-hadits itu akan membayangkan Tuhannya –walaupun mereka ini berkata tidak mem- bayangkan-Nya– tentang bentuk jari kelingking Allah swt., kaki-Nya, wajah-Nya, berat-Nya dan lain sebagainya.



Marilah kita baca dibawah ini diskusi mengenai seputar sifat-sifat Allah antara seorang madzhab sunnah (lebih mudahnya kita juluki si A ) dengan salah seorang tokoh Wahabi/Salafi (kita juluki si B).Si A mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tersebut dalam hadits-hadits diatas ini, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan kesalahan keyakinan-keyakinan tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat.



Si A (madzhab sunnah) bertanya pada si B: Jika memang Allah swt. mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan mengkhayalkan-Nya? Dan dia pasti akan membayang- kan-Nya. Karena jiwa manusia tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini.”



Si B (madzhab Wahabi) menjawab: “Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya (bentuk Allah), namun dia tidak diperkenankan memberitahukannya!!”



Si A bertanya lagi: “Apa bedanya antara anda meletakkan sebuah berhala dihadapan anda dan kemudian anda menyembahnya dengan anda hanya membayangkan sebuah berhala dan kemudian menyembahnya?”.



Si B menjawab: “Ini adalah perkataan kelompok sesat semoga Allah mem- burukkan mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak mensifati-Nya dengan sifat-sifat seperti ini (mempunyai dua tangan, kaki dan lain-lain). Sehingga dengan demikian, mereka itu menyembah Tuhan yang tidak ada.”



Si A ini berkata lagi: “Sesungguhnya Allah yang Maha benar, Dia tidak dapat diliputi oleh akal, tidak dapat dicapai oleh penglihatan, tidak dapat ditanya dimana dan bagaimana, serta tidak dapat dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. Karena Dialah yang telah menciptakan dimana dan bagaimana. Segala sesuatu yang tidak dapat anda bayangkan itulah Allah, dan segala sesuatu yang dapat anda bayangkan adalah makhluk. Kami telah belajar dari para ulama dari keturunan Nabi saw. Mereka berkata, ‘Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meskipun dalam bentuk yang paling rumit, dia itu makhluk seperti kamu.’ Keseluruhan pengenalan Allah ialah ketidak mampuan mengenal-Nya.”



Si B berkata dengan penuh emosi, “Kami menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan itu cukup ! “ Demikianlah diskusi singkat ini.



Golongan Wahabi/Salafi berusaha memberikan pembenaran terhadap hadits-hadits mengenai penjasmanian/Tajsim dan penyerupaan/ Tasybih tersebut dengan alasan: “Tanpa bentuk (bi la kaif)”?! Sungguh benar apa yang dikatakan seorang penyair, “Mereka telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya namun mereka takut akan kecaman manusia maka oleh karena itu mereka pun menyembunyikannya dengan mengatakan tanpa bentuk (bila kaif)”. Pembenaran golongan Wahabi/Salafi mengenai riwayat penjasmanian Allah swt. yang telah diuraikan adalah bertentangan dengan ayat-ayat ilahi yang telah kita kemukakan tadi. Mereka hanya ingin bermain lidah saja yang mengatakan bahwa hadits-hadits ini benar tapi tanpa bentuk, karena riwayat-riwayat itu sudah jelas bagi orang yang berakal sebagai penetapan kepada makna yang hakiki/sebenarnya. Kata-kata meletakkan kaki, tangan, jari kelingking, duduk dan sebagainya yang disebutkan itu berarti mempunyai arti yang sudah dikenal yaitu penetapan tangan, kaki, jari kelingking dan duduk itu sendiri. Sehingga bila orang berkata si A duduk kita akan tahu bagaimana bentuknya duduk tersebut lain dengan berdiri. Tangan si A memegang pundak saya ini berarti penetapan bentuknya tangan itu sendiri. Jadi tidak bisa diartikan selain daripada Tajsim atau penjasmanian dan Tasybih/Penyerupaan Tuhan kepada makhluk-Nya. Na’udzubillah



Seorang madzhab sunnah pernah berdiskusi dengan salah seorang dosennya di kampus tentang seputar masalah duduknya Allah di atas ‘Arsy. Ketika si dosen terdesak dia mengemukakan alasan: “Kami hanya akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf, ‘Arti duduk (al-istiwa) diketahui, tapi bentuk (al-kaif) duduknya tidak diketahui, dan pertanyaan tentangnya adalah bid’ah.”. Seorang madzhab sunnah berkata kepadanya; “anda tidak menambahkan apa-apa kecuali kesamaran, dan anda hanya menafsirkan air dengan air setelah semua usaha ini.”



Dosen ini berkata, “Bagaimana mungkin, padahal diskusi demikian serius.” Madzhab sunnah ini mengatakan; “Jika arti duduk diketahui, maka tentu bentuknya pun diketahui juga. Sebaliknya, jika bentuk tidak diketahui, maka duduk pun tidak diketahui, karena tidak terpisah darinya. Pengetahuan tentang duduk adalah pengetahuan tentang bentuk itu sendiri, dan akal tidak akan memisahkan antara sifat sesuatu dengan bentuknya, karena keduanya adalah satu. Jika anda mengatakan si A duduk, maka ilmu anda tentang duduknya adalah tentang bentuk (kaiffiyah) duduknya. Ketika anda mengatakan, duduk di ketahui, maka ilmu anda tentang duduk itu adalah tentang bentuk duduk itu sendiri. Karena jika tidak, maka tentu terdapat pertentangan di dalam perkata an anda, yang mana pertentangan itu bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan pernyataan bahwa anda mengetahui duduk, namun pada saat yang sama anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui bentuknya.” Kemudian si Dosen pun terdiam beberapa saat, lalu dengan tergesa-gesa dia meminta izin untuk pergi.!!



Kesimpulan singkat mengenai keterangan mengenai tajsim dan tasybih yang perlu dipahami ialah :

(Dimensi) ruang/tempat, waktu, dan kesadaran adalah makhluk Allah. Allah tidak dibatasi ruang, waktu dan kesadaran makhluk. Bukankah Allah swt. sendiri telah berfirman: Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’ (QS Asy-Syuura :11); ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS Al-An’aam : 103); ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’.( QS Ash-Shaffaat:159) dan ayat-ayat lainnya. Ayat-ayat inilah sebagai dalil yang kuat bahwa Allah swt. tidak bisa disamakan atau disifatkan seperti makhluk-Nya. Nash-nash yang menyatakan sifat atau perbuatan Sang Pencipta tentunya harus dipahami dengan landasan dalil-dalil bahwa ruang, waktu, pikiran, dan kesadaran adalah makhluk Allah, sehingga harus dipahami bahwa Allah swt. bukan makhluk, memahami makna “sifat atau perbuatan Allah” itu tentu dalam pengertian memahami sesuatu yang diluar batas ruang, waktu, dan kesadaran. Jika memahami ayat-ayat shifat itu memakai bahasa majazi/kiasan adalah sesuatu yang dibolehkan dan diajarkan oleh Nabi saw.. Hal ini paling baik karena untuk menghidari orang terjerumus dalam mujassimah. Dengan meyakini ayat-ayat itu secara dzohir atau lahirnya ayat tanpa menjelaskan maknanya bahwa Allah swt. bukan seperti makhluk-Nya (tidak terikat waktu, ruang dan lain sebagai- nya ) orang bisa terjerumus kepada mujassimah.



Lebih mudahnya kami beri contoh, tatkala kita menyebutkan kata ‘Singa’ –yaitu berupa kata tunggal– maka dengan serta merta terbayang di dalam benak kita seekor binatang buas yang hidup dihutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk tarkibi (susunan kata) yang tidak mengandung qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari makna ifradi (tunggal). Seperti kalimat yang berbunyi, ‘Saya melihat seekor singa sedang memakan mangsanya di hutan”. Kata Singa disini maknanya adalah sama yaitu bingatang buas. Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, ‘Saya melihat singa sedang menyetir mobil ’. Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada didalam kalimat ini adalah arti kiasan yaitu seorang laki-laki pemberani, bukan berarti binatang buas. Inilah kebiasaan orang Arab didalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata; ‘Dia menjadi singa atas saya, namun di medan perang dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari karena suara terompet perang yang dibunyikan’.



Dari syair ini kita dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh dalam peperangan. Orang yang mengerti perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang merubah kalimat dengan sesuatu yang keluar dari makna dzahir perkataan.

Begitu juga susunan kata seperti, ‘Negeri ini berada didalam genggaman tangan Raja’. Orang akan memahami yang dimaksud kalimat ini ialah ‘Negeri ini berada dibawah kekuasaan dan kehendak Raja’. Susunan kata ini tetap sesuai atau tetap diucapkan meskipun pada kenyataannya Raja tersebut buntung tangannya. Jadi kata ‘genggaman tangan’ dalam kalimat ini sebagai kata kiasan/majazi yang harus disesuaikan maknanya.



Demikian juga halnya dengan ayat-ayat shifat Allah swt. (wajah-Nya, tangan-Nya, betis, turun, tertawa dan lain sebagainya) baik yang tertulis dalam Alqur’an maupun dalam Hadits, walaupun dhahir tektsnya tetap tertulis di dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi para sahabat dan ulama pakar menerangkan dan mensesuaikan maknanya dengan ke Maha Sucian dan keMaha Agungan-Nya atau diserahkan pe-makna-annya kepada Allah swt., untuk menghindari orang terjerumus dalam mujassimah.

Disini kita juga harus mencermati dan memahami dengan benar perkataan para imam seperti Imam Syafi’i dan para imam lainnya yang selalu dinukil oleh golongan Mujassimah. Apakah para imam itu menghendaki makna seperti golongan Mujassimah terjemahkan? Apakah jika para imam itu tidak melakukan takwil berarti mereka memaknainya seperti yang golongan Mujassimah terjemahkan?! Disinilah letak masalahnya! Para Ulama dalam menyikapi ayat-ayat/hadits-hadits shifat mempunyai beberapa tiga pendapat/aliran:

a). Ada golongan ulama mentafwidh artinya tidak berkomentar apapun, tidak memberikan arti apapun tentangnya. Mereka menyerahkan pe-makna-annya kepada Allah swt.. Artinya para ulama golongan ini tidak mau melibat kan diri dalam menafsirkannya, tafsirnya adalah bacaannya itu! Jadi gologan ulama ini tidak memiliki aliran tapi mereka ini tidak berarti menjadi menta’thil (menafikan) dari pensifatan! Itu hanya khayalan kaum mujassimah dan musyabbihah belaka!



b). Ada golongan ulama yang menakwilkannya, dengan penakwilan tertentu yaitu memberikan penafsiran yang sesuai dengan ke Mahasucian dan ke-Maha-agungan Allah swt., ini dibolehkan.



Golongan lainnya lagi mengartikan kata-kata shifat itu dengan arti yang hakiki/sesungguhnya seperti kata: Yanzilu diartikan turun secara hakiki, Yadun diartikan tangan secara hakiki, dhohika diartikan tertawa secara hakiki dan begitu seterusnya, yang semuanya ini tidak lain menjurus kepada tajsim dan tasybih Allah swt. kepada Makhluk-Nya. Karena secara bahasa dhahika itu tertawa, dan tertawa itu artinya jelas dalam kamus-kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Kata yanzilu secara bahasa artinya turun, dan turun itu meniscayakan adanya perpindahan dan perpindahan itu meniscayakan adanya gerak, dan gerak itu adalah konsekuensi dari sifat benda, itu jelas sekali ! Kalau kata yanzilu tanpa perpindahan dan gerak ya namanya bukan yanzilu! Itu berarti memaknai kata itu bukan dengan makna bahasa sesungguhnya! Wallahu a’lam.



Marilah kita baca dibawah ini sebagian isi khotbah Amirul Mukminin Imam Ali Bin Abi Thalib k.w. yang sangat bagus sekali mengenai sifat Allah swt. dari kitab Nahjul Balaqhoh terjemahan O.Hashem, Syarah oleh M.Hashem, Yapi 1990, Khotbah Pertama halaman 108-109 sebagai berikut:



“Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tidak terlukiskan oleh pembicara. Tidak terhitung nikmat-Nya oleh para penghitung. Hak-Nya akan pengabdian tidak akan terpenuhi oleh para pengupaya. Tidak dapat dicapai Dia oleh ketinggian intelek dan tidak pula terselami oleh pemahaman yang bagaimanapun dalamnya. Ia, yang sifat-Nya tiada terbatasi lukisan, pujian yang tepat tidaklah maujud (Maha ada). Sang waktu tidaklah dapat memberi batas, dan tidak kurun yang mengikat-Nya.

Pangkal agama adalah ma’rifat-Nya, dan kesempurnaan ma’rifat-Nya adalah membenarkan-Nya dan kesempurnaan iman kepada keesaan-Nya adalah ikhlas kepada-Nya, dan kesempurnaan ikhlas kepada-Nya, adalah menafikan sifat yang diberikan kepada-Nya, karena setiap sifat membuktikan bahwa ia bukanlah yang disifati dan setiap yang disifati membuktikan bahwa Ia bukanlah sifat.

Dan barangsiapa menyifatkan Allah yang Maha Suci, maka ia telah memberikan pasangan kepada-Nya. Dan barangsiapa memberi pasangan kepada-Nya maka ia telah menggandakan-Nya. Dan barangsiapa menggandakan-Nya, maka ia telah membagi-bagi-Nya. Dan barangsiapa membagi-Nya, maka ia telah berlaku jahil kepada-Nya. Dan barangsiapa berlaku jahil kepada-Nya berarti ia telah menunjuk-Nya. Dan barangsiapa menunjukkan-Nya, berarti telah memberi batas kepada-Nya. Dan barangsiapa membatasi-Nya, berarti memberi jumlah kepada-Nya.Dan barangsiapa berkata; ‘Di dalam apa Dia berada’ maka ia telah menyisipkan-Nya, dan barangsiapa berkata; ‘Di atas apa Dia berada’ maka sungguh Ia lepas dari hal tersebut.

Dia maujud, Maha ada, tetapi tidak muncul dari proses kejadian. Ia ada, tetapi tidak dari tiada. Ia bersama segala sesuatu, tapi tidak berdampingan. Dan Ia tidak bersama segala sesuatu, tanpa saling berpisahan. Ia bertindak, tetapi tidak berarti ia bergerak dan menggunakan alat. Ia Maha Melihat tapi tidak tergantung makhluk untuk dilihat. Ia Maha Esa dan tiada sesuatupun yang menemaninya, dan tidak merasa sepi karena ketiadaan”. Wallahu a’lam. Semoga kita semua diberi ampunan dan hidayah dari Allah swt. Amin

Sumber: http://www.everyoneweb.com/tabarruk/
Baca Selengkapnya......

Didukung Oleh - Luqman Al-Farouq Muhammad | Makassar, South Sulawesi