Friday, July 31, 2009

SEKELUMIT PENGANTAR TENTANG SEKTE WAHABI/SALAFI

Sebelum penulis mengutip dan mengumpulkan pendapat-pendapat ulama pakar apa yang dimaksud dalam hadits kata-kata bid’ah, tawassul, tabarruk dan lain sebagainya yang selalu dicela dan disesatkan terutama oleh madzhab Salafi/ Wahabi dan pengikutnya ingin mengutip pendapat ulama mengapa adanya pertentangan akidah atau keyakinan antara golongan yang menamakan dirinya Salafi atau Wahabi serta pengikutnya ini dengan ulama Madzhab ahlus-sunnah lainnya ?

Golongan Wahabi/Salafi ini berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sebagai penerus Ibnu Taimiyyah (kita bicarakan tersendiri mengenai sejarah singkat Ibnu Abdul Wahhab). Golongan ini juga sering menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw. secara tekstual (apa adanya kalimat) dan literal (makna yang sebenarnya) atau harfiah dan meniadakan arti majazi atau kiasan. Oleh karenanya mereka sering menjasmanikan (tajsim) dan menyerupakan (tasybih) Allah swt. secara hakiki/sesungguhnya kepada makhluk-Nya. Insya Allah nanti kita utarakan tersendiri contoh riwayat-riwayat yang jelas mengarah kepada Tajsim dan Tasybih. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengan ke Mahasucian dan keMaha agungan-Nya..


Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Karena ini bertentangan dengan firman Allah swt. sebagai berikut: Dalam surat Syuura (42) : 11; ‘Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya’. Surat Al-An’aam (6): 103; ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’. Surat Ash-Shaffaat (37) : 159; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’, dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.

Dengan adanya penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. secara tekstual ini, mereka mudah membid’ahkan dan mensyirikkan Tawassul (berdo’a pada Allah sambil menyertakan nama Rasulallah atau seorang sholeh/wali dalam do’a itu), Tabarruk (pengambilan barokah), permohonan syafa’at pada Rasulallah saw. dan para wali Allah, peringatan-peringatan keagamaan, kumpulan majlis-majlis dzikir (istighothah, tahlilan dan sebagainya), ziarah kubur, taqlid (ikut-ikutan) kepada imam madzhab dan lain sebagainya.

Insya Allah, semuanya itu akan kami uraikan sendiri pada babnya masing-masing. Sebenarnya semua itu adalah kebaikan, banyak hadits dan wejangan ulama pakar yang berkaitan dengan masalah-masalah diatas itu. Golongan Salafi/Wahabi dan pengikutnya ini sering berkata bahwa mereka akan mengajarkan syari’at Islam yang paling murni dan benar, sehingga mudah mensesatkan sampai-sampai berani mengkafirkan, mensyirikkan sesama muslimin yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka. (baca pengkafiran Muhamad Abdul Wahhab terhadap para ulama pakar pada halaman selanjutnya).

Menurut pendapat sebagian orang bahwa faham golongan Wahabi/Salafi (baca makalah dibuku ini dan di website-website yang menentang ajaran Muhammad Ibnu Abdul-Wahhab ) pada zaman modern ini seperti golongan al-Hasyawiyyah, karena kepercayaan-kepercayaan dan pendapat-pendapat mereka mirip dengan golongan yang dikenali sebagai al-Hasyawiyyah pada abad-abad yang awal. Istilah al-Hasyawiyyah adalah berasal daripada kata dasar al-Hasyw yaitu penyisipan, pemasangan dan kemasukan.

Ahmad bin Yahya al-Yamani (m.840H/1437M) mencatatkan bahwa: Nama al-Hasyawiyyah digunakan kepada orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits sisipan yang sengaja dimasukkan oleh golongan al-Zanadiqah sebagaimana sabda Nabi saw. dan mereka menerimanya tanpa melakukan interpretasi semula, dan mereka juga menggelarkan diri mereka Ashab al-Hadith dan Ahlal-Sunnah wa al-Jama‘ah...Mereka bersepakat mempercayai konsep pemaksaan (Allah berhubungan dengan perbuatan manusia) dan tasybih (bahwa Allah seperti makhluk-Nya) dan mempercayai bahwa Allah mempunyai jasad dan bentuk serta mengatakan bahwa Allah mempunyai anggota tubuh dan lain sebagainya.(baca riwayat-riwayat tajsim, tasybih pada halaman selanjutnya).

Al-Syahrastani (467-548H/1074-1153M) menuliskan bahwa: Terdapat sebuah kumpulan Ashab al-Hadits, yaitu al-Hasyawiyyah dengan jelas menunjukkan kepercayaan mereka tentang tasybih (yaitu Allah serupa makhluk-Nya) ...sehingga mereka sanggup mengatakan, bahwa pada suatu ketika, kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh a.s sehingga mata-Nya menjadi merah, dan ‘Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui ‘Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. [Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h.141.]

Begitu juga paham sekte Wahabi ini seakan-akan menjiplak atau mengikuti kaum Khawarij yang juga mudah mengkafirkan, mensyirikkan, mensesatkan sesama muslimin karena tidak sependapat dengan fahamnya. Kaum khawarij ini kelompok pertama yang secara terang-terangan menonjolkan akidahnya dan bersitegang leher mempertahankan prinsip keketatan dan kekerasan terhadap kaum muslimin yang tidak sependapat dan sepaham dengan mereka. Kaum khawarij ini mengkafirkan Amirul Mu’minin Imam Ali bin Abi Thalib kw dan para sahabat Nabi saw. yang mendukungnya. Kelompok ini ditetapkan oleh semua ulama Ahlus-Sunnah sebagai ahlul-bid’ah, dan dhalalah/sesat berdasarkan dzwahirin-nash (makna harfiah nash) serta keumuman maknanya yang berlaku terhadap kaum musyrikin. Kaum ini mudah sekali mengkafir-kafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka, menghalalkan pembunuhan, perampasan harta kaum muslimin selain golongannya/ madzhabnya.

Ibnu Mardawih mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Mas’ab bin Sa’ad yang menuturkan sebagai berikut: “Pernah terjadi peristiwa, seorang dari kaum Khawarij menatap muka Sa’ad bin Abi Waqqash (ayah Mas’ab) ra. Beberapa saat kemudian orang Khawarij itu dengan galak berkata: ‘Inilah dia, salah seorang pemimpin kaum kafir’! Dengan sikap siaga Sa’ad menjawab; ‘Engkau bohong! Justru aku telah memerangi pemimpin-pemimpin kaum kafir‘. Orang khawarij yang lain berkata: ‘Engkau inilah termasuk orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya‘! Sa’ad menjawab : ‘Engkau bohong juga! Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah, Tuhan mereka, mengingkari perjumpaan dengan-Nya’! (yakni tidak percaya bahwa pada hari kiamat kelak akan dihadapkan kepada Allah swt.). Riwayat ini dikemukakan juga oleh Al-Hafidz didalam Al-Fath.

Thabrani mengetengahkan sebuah riwayat didalam Al-Kabir dan Al-Ausath, bahwa “ ‘Umarah bin Qardh dalam tugas operasi pengamanan ketempat suara adzan itu dengan maksud hendak menunaikan sholat berjama’ah. Tetapi alangkah terkejutnya, ketika tiba disana ternyata ia berada ditengah kaum Khawarij sekte Azariqah. Mereka menegurnya: ‘Hai musuh Allah, apa maksudmu datang kemari’?! Umarah menjawab dengan tegas: ‘Kalian bukan kawan-kawanku’ ! Mereka menyahut: ‘Ya, engkau memang kawan setan, dan engkau harus kami bunuh’ ! Umarah berkata; ‘ Apakah engkau tidak senang melihatku seperti ketika Rasulallah saw. dahulu melihatku’? Mereka bertanya: ‘Apa yang menyenangkan beliau darimu’? ‘Umarah menjawab: ‘ Aku datang kepada beliau saw. sebagai orang kafir, lalu aku mengikrarkan kesaksianku, bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwa beliau saw. adalah benar-benar utusan Allah. Beliau saw. kemudian membiarkan aku pergi’. Akan tetapi sekte Azariqah tidak puas dengan jawaban ‘Umarah seperti itu. Ia lalu diseret dan dibunuh”.

Peristiwa ini dimuat juga sebagai berita yang benar dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Sikap dan tindakan kaum khawarij tersebut jelas mencerminkan penyelewengan akidah mereka, dan itu merupakan dhalalah/kesesatan. Perbuatan mereka ini telah dan selalu dilakukan oleh pengikut mereka di setiap zaman. Mereka ini sebenarnya adalah orang-orang yang dipengaruhi oleh bujukan hawa nafsunya sendiri dan berpegang kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits secara harfiah atau tekstual. Mereka beranggapan hanya mereka/golongannya sajalah yang paling benar, suci dan murni, sedangkan orang lain yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, berbuat bid’ah, kafir dan musyrik! Mereka ini tidak sudi mendengarkan siapapun juga selain orang dari kelompok mereka sendiri. Mereka memandang ummat Islam lainnya dengan kacamata hitam, sebagai kaum bid’ah atau kaum musyrikin yang sudah keluar meninggalkan agama Islam ! Padahal Islam menuntut dan mengajarkan agar setiap muslim bersangka baik/husnud-dhon terhadap ummat seagama, terutama terhadap para ulama. Membangkit-bangkitkan perbedaan pendapat mengenai soal-soal bukan pokok agama –yakni yang masih belum tercapai kesepakatan diantara para ulama– menyebabkan prasangka buruk terhadap mereka atau dengan cara lain yang bersifat celaan, cercaan, tuduhan dan lain sebagainya.


Sumber : http://www.everyoneweb.com/tabarruk/
Baca Selengkapnya......

BERZIARAH KE MAKAM RASULULLAH


Download artikel ini ke PDF (Klik Disini)

Saat melaksanakan haji merupakan kesempatan emas bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah sebanyak-banyaknya. Beribadah di Haramain (Makkah dan Madinah) mempunyai keutaman yang lebih dari tempat-tempat lainnya. Maka para jamaah haji menyempatkan diri berziarah ke makah Rasulullah SAW.
Berziarah ke makam Rasulullah SAW adalah sunnah hukumnya. Rasulullah SAW sendiri bersabda:
مَنْ جَائَنِي زَائِرًا لَمْ تَدْعُهُ حَاجَةٌ اِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ تَعَالَى أنْ أكُوْنَ شَفِيْعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa saja yang datang kepadaku untuk berziarah, dan keperluannya hanya utnuk beziarah kepadaku maka Allh SWT memberikan jaminan agar aku menjadi orang yang memberi syafa’at (pertolongan) kepadanya di hari kiamat nanti. (HR Darul Quthni)
ِApalagi ziarah itu dilakukan pada saat melakukan ibadah haji. Dalam hadits lain disebutkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ مَوْتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِيْ فِي حَيَاتِهِ
Dari Ibn 'Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melaksanakan ibadah haji, lalu berziarah ke makamku setelah aku meninggal dunia, maka ia seperti orang yang berziarah kepadaku ketika aku masih hidup.” (HR Darul Quthni)
Atas dasar ini, pengarang kitab I'anatut Thalibin menyatakan:
“Berziarah ke makam Nabi Muhammad merupakan salah satu qurbah (ibadah) yang paling mulia, karena itu, sudah selayaknya untuk diperhatikan oleh seluruh umat Islam. Dan hendaklah waspada, jangan sampai tidak berziarah padahal dia telah diberi kemampuan oleh Allah SWT, lebih-Iebih bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji. Karena hak Nabi Muhammad SAW yang harus diberikan oleh umatnya sangat besar. Bahkan jika salah seorang di antara mereka datang dengan kepala dijadikan kaki dari ujung bumi yang terjauh hanya untuk berziarah ke Rasullullah SAW maka itu tidak akan cukup untuk memenuhi hak yang harus diterima oleh Nabi SAW dari umatnya. Mudah-mudahan Allah SWT membalas kebaikan Rasullullah SAW kepada kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.” (I'anatut Thalibin, juz II, hal 313)
Lalu, bagaimana dengan kekhawatiran Rasulullah SAW yang melarang umat Islam menjadikan makam beliau sebagai tempat berpesta, atau sebagai berhala yang disembah.. Yakni dalam hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَتَتَّخِذُوْا قَبْرِي عِيْدًا وَلا تَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوْا عَلَيَّ فَاِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي
Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, dan janganlah kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan. Maka bacalah shalawat kepadaku. Karena shalawat yang kamu baca akan sampai kepadaku di mana saja kamu berada.” (Musnad Ahmad bin Hanbal: 8449)
Menjawab kekhawatiran Nabi SAW ini, Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Maliki al-Hasani menukil dari beberapa ulama, lalu berkomentar:
“Sebagian ulama ada yang memahami bahwa yang dimaksud (oleh hadits itu adalah) larangan untuk berbuat tidak sopan ketika berziarah ke makam Rasulullah SAW. Yakni dengan memainkan alat musik atau permainan lainnya, sebagaimana yang biasa dilakukan ketika ada perayaan. (Yang seharusnya dilakukan adalah) umat Islam berziarah ke makam Rasul hanya untuk menyampaikan salam kepada Rasul, berdo’a di sisinya, mengharap berkah melihat makam Rasul, mendoakan serta menjawab salam Rasulullah SAW. (Itu semua dilakukan) dengan tetap menjaga sopan santun yang sesuai dengan maqam kenabiannya yang mulia.” (Manhajus Salaf fi Fahmin Nushush bainan Nazhariyyah wat-Tathbiq, 103)
Maka, berziarah ke makam Rasulullah SAW tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan sangat dianjurkan karena akan mengingatkan kita akan jasa dan perjuangan Nabi Muhammad SAW, sekaligus menjadi salah satu bukti mengguratnya kecintaan kita kepada beliau.

KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nuris, Ketua PCNU Jember

Sumber : www.nu.or.id

Baca Selengkapnya......

SEJARAH WAHABI

Download artikel ini ke PDF (Klik Disini !!)

Menanggapi banyaknya permintaan pembaca tentang sejarah berdirinya Wahabi maka kami berusaha memenuhi permintaan itu sesuai dengan asal usul dan sejarah perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, I'tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain. Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam. Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya. Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha'i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.

Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama' besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa'iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi'i, menulis surat berisi nasehat: "Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A'dham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.

Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : "Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)
Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama'ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?? Dengan segera dia menjawab, "Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan" Lelaki itu bertanya lagi "Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu person pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim. Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa. Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu.

Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar'iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya. Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama? besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh. Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata : ?Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali. Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya. Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.
Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka?bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma?la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut. Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali. Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa?ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global. Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi?i yang sudah mapan.

Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma?la (Mekkah), di Baqi' dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di atas tanah Nabi SAW dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta, namun karena gencarnya desakan kaum Muslimin International maka dibangun perpustakaan. Kaum Wahabi benar-benar tidak pernah menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam. Semula AI-Qubbatul Khadra (kubah hijau) tempat Nabi Muhammad SAW dimakamkan juga akan dihancurkan dan diratakan dengan tanah tapi karena ancaman International maka orang-orang biadab itu menjadi takut dan mengurungkan niatnya. Begitu pula seluruh rangkaian yang menjadi manasik haji akan dimodifikasi termasuk maqom Ibrahim akan digeser tapi karena banyak yang menentangnya maka diurungkan.
Pengembangan kota suci Makkah dan Madinah akhir-akhir ini tidak mempedulikan situs-situs sejarah Islam. Makin habis saja bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah SAW dan sahabatnya. Bangunan itu dibongkar karena khawatir dijadikan tempat keramat. Bahkan sekarang, tempat kelahiran Nabi SAW terancam akan dibongkar untuk perluasan tempat parkir. Sebelumnya, rumah Rasulullah pun sudah lebih dulu digusur. Padahal, disitulah Rasulullah berulang-ulang menerima wahyu. Di tempat itu juga putra-putrinya dilahirkan serta Khadijah meninggal.
Islam dengan tafsiran kaku yang dipraktikkan wahabisme paling punya andil dalam pemusnahan ini. Kaum Wahabi memandang situs-situs sejarah itu bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru. Pada bulan Juli yang lalu, Sami Angawi, pakar arsitektur Islam di wilayah tersebut mengatakan bahwa beberapa bangunan dari era Islam kuno terancam musnah. Pada lokasi bangunan berumur 1.400 tahun Itu akan dibangun jalan menuju menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah jamaah haji dan umrah.

"Saat ini kita tengah menyaksikan saat-saat terakhir sejarah Makkah. Bagian bersejarahnya akan segera diratakan untuk dibangun tempat parkir," katanya kepada Reuters. Angawi menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah di Makkah dan Madinah dimusnahkan selama 50 tahun terakhir. Bahkan sebagian besar bangunan bersejarah Islam telah punah semenjak Arab Saudi berdiri pada 1932. Hal tersebut berhubungan dengan maklumat yang dikeluarkan Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada tahun 1994. Dalam maklumat tersebut tertulis, ?Pelestarian bangunan bangunan bersejarah berpotensi menggiring umat Muslim pada penyembahan berhala.

Nasib situs bersejarah Islam di Arab Saudi memang sangat menyedihkan. Mereka banyak menghancurkan peninggalan-peninggalan Islam sejak masa Ar-Rasul SAW. Semua jejak jerih payah Rasulullah itu habis oleh modernisasi ala Wahabi. Sebaliknya mereka malah mendatangkan para arkeolog (ahli purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya ratusan juta dollar untuk menggali peninggalan-peninggalan sebelum Islam baik yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata. Kemudian dengan bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi ini merupakan pelenyapan bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu keraguan di kemudian hari.

Gerakan wahabi dimotori oleh para juru dakwah yang radikal dan ekstrim, mereka menebarkan kebencian permusuhan dan didukung oleh keuangan yang cukup besar. Mereka gemar menuduh golongan Islam yang tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bid?ah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan, mereka tak pernah mengakui jasa para ulama Islam manapun kecuali kelompok mereka sendiri. Di negeri kita ini mereka menaruh dendam dan kebencian mendalam kepada para Wali Songo yang menyebarkan dan meng-Islam-kan penduduk negeri ini.

Mereka mengatakan ajaran para wali itu masih kecampuran kemusyrikan Hindu dan Budha, padahal para Wali itu telah meng-Islam-kan 90 % penduduk negeri ini. Mampukah wahabi-wahabi itu meng-Islam-kan yang 10% sisanya? Mempertahankan yang 90 % dari terkaman orang kafir saja tak bakal mampu, apalagi mau menambah 10 % sisanya. Justru mereka dengan mudahnya mengkafirkan orang-orang yang dengan nyata bertauhid kepada Allah SWT. Jika bukan karena Rahmat Allah yang mentakdirkan para Wali Songo untuk berdakwah ke negeri kita ini, tentu orang-orang yang menjadi corong kaum wahabi itu masih berada dalam kepercayaan animisme, penyembah berhala atau masih kafir. (Naudzu billah min dzalik).

Oleh karena itu janganlah dipercaya kalau mereka mengaku-aku sebagai faham yang hanya berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka berdalih mengikuti keteladanan kaum salaf apalagi mengaku sebagai golongan yang selamat dan sebagainya, itu semua omong kosong belaka. Mereka telah menorehkan catatan hitam dalam sejarah dengan membantai ribuan orang di Makkah dan Madinah serta daerah lain di wilayah Hijaz (yang sekarang dinamakan Saudi). Tidakkah anda ketahui bahwa yang terbantai waktu itu terdiri dari para ulama yang sholeh dan alim, bahkan anak-anak serta balita pun mereka bantai di hadapan ibunya. Tragedi berdarah ini terjadi sekitar tahun 1805. Semua itu mereka lakukan dengan dalih memberantas bid?ah, padahal bukankah nama Saudi sendiri adalah suatu nama bid?ah? Karena nama negeri Rasulullah SAW diganti dengan nama satu keluarga kerajaan pendukung faham wahabi yaitu As-Sa'ud.

Sungguh Nabi SAW telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau SAW dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih BUKHARI & MUSLIM dan lainnya. Diantaranya: "Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana," sambil menunjuk ke arah timur (Najed). (HR. Muslim dalam Kitabul Fitan)

"Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al-Qur'an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur (Gundul)." (HR Bukho-ri no 7123, Juz 6 hal 20748). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Hibban
Nabi SAW pernah berdo'a: "Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman," Para sahabat berkata: Dan dari Najed, wahai Rasulullah, beliau berdo'a: Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman, dan pada yang ketiga kalinya beliau SAW bersabda: "Di sana (Najed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk syaitan.", Dalam riwayat lain dua tanduk syaitan.

Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal: "Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah SAW itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid'ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian. Al-Allamah Sayyid AIwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah AI-Haddad menyebutkan dalam kitabnya Jala?udz Dzolam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi SAW: "Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah BANY HANIFAH seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin". AI-Hadits.

BANY HANIFAH adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Saud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid AIwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahab. Adapun mengenai sabda Nabi SAW yang mengisyaratkan bahwa akan ada keguncangan dari arah timur (Najed) dan dua tanduk setan, sebagian, ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk setan itu tiada lain adalah Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad Ibn Abdil Wahab.

Pendiri ajaran wahabiyah ini meninggal tahun 1206 H / 1792 M, seorang ulama' mencatat tahunnya dengan hitungan Abjad: "Ba daa halaakul khobiits" (Telah nyata kebinasaan Orang yang Keji) (Masun Said Alwy)

Sumber : www.majelisrasulullah.org
Baca Selengkapnya......

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DALAM ILMU TAUHID

Download Artikel ini ke PDF (Klik Disini!!)

Di dalam mempelajari Ilmu Tauhid atau aqidah, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) menggunakan dalil nadli dan aqli. Dalil naqli ialah dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dan dalil Aqli ialah dalil yang berdasarkan akan pikiran yang sehat.
Sebagaimana dikemukakan bahwa madzhab Mu’tazilah mengutamakan dalil akal dari pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka berani menafsirkan Al-Qur’an menurut akal mereka, sehingga ayat-ayat Al-Qur’an disesuaikan dengan akal mereka. Apabila ada hadits yang bertentangan dengan akal, mereka ditinggalkan itu dan mereka berpegang kepada akal pikirannya. Ini merupakan suatu these (aksi) yang akhirnya menimbulkan antithesa (reaksi) yang disebut golongan Ahlul Atsar(أهل الأثار)
Cara berpikir Ahlul Atsar adalah kebalikan cara berpikir golongan Mu’tazilah. Ahlul Atsar hanya berpegangan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka tidak berani menafsirkan Al-Qur’an menurut akal, karena khawatir takut keliru, khususnya dalam ayat-ayat Al-Mutasyabihaat mereka menyerahkan maknanya kepada Allah SWT.
Seperti firman Allah SWT dalam surat al-Fath [48] ayat 10:
َيدُاللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ

“Tangan Allah di atas tangan mereka”.
Ahlul Atsar tidak mau menafsirkan apa yang dimaksud dengan tangan pada ayat tersebut, mereka menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Fatwa mereka hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata. Apabila mereka tidak menjumpai dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka tidak berani untuk berfatwa. Dari golongan ini lahirlah seorang Imam yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau dilahirkan di Nejed tahun1703 M.
Dengan demikian, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawakan oleh Al-Imam Abdul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi mengembalikan ajaran Islam kepada Sunnah Rasulullah SAW dan para shahabatnya dengan berpegangan kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tidak meninggalkan dalil-dalil akal. Artinya memegang kepada dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Cara Mempergunakan Dalil dalam Ilmu Tauhid
Madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah mendahulukan atau mengutamakan dalil naqli dari pada dalil aqli. Jika akal manusia diibaratkan mata, maka dalil naqli diibaratkan pelita. Agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata mengikuti pelita. Akal manusia mengikuti dalil Qur’an dan Hadits bukan Qur’an dan hadits yang disesuaikan dengan akan manusia.
Rasulullah SAW bersabda: (لاَدِيْنَ ِلمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُ) tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Maksudnya, orang yang berakal menerima agama. Akal menerima agama, bukan agama menerima akal, karena akal manusia bermacam-macam. Agama ialah syariat yang diletakkan oleh Allah SWT bersumberkan kepada wahyu dan sunnah Rasulullah SAW bukan bersumberkan kepada akal. Agama bukan akal manusia dan akal manusia bukan agama.
Fatwa agama yang datang dari mana pun saja kalau tidak berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas wajib kita tolak. Maka di dalam ilmu Tauhid kita berpegangan kepada Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat tahun 324 H. Beliau belajar kepada ulama’ Mu’tazilah, di antaranya Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabal. Karena pada masa itu Mu’tazilah merupakan madzhab pemerintah pada zaman khalifah Abbasiyah; khalifah Al-Ma’mun bin Harun Al-Rasyid al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, dan beliau termasuk pengikut setia madzhab mu’tazilah.
Setelah beliau banyak melihat kekeliruan faham Mu’tazilah maka beliau menyatakan keluar dari Mu’tazilah di depan khalayak ramai dengan tegas, bahkan akhirnya beliau menolak pendapat-pendapat Mu’tazilah dengan dalil-dalil yang tegas.
Dalam ilmu Tauhid, rukun iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah ada 6 (enam): Iman kepada Allah, kepada para Nabi/Rasul Allah, Kitab Suci Allah, Malaikat Allah, Hari Akhir, dan Qadla/Qadar Allah, yang insya Allah akan diuraikan pada kesempata berikutnya.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Sumber : www.nu.or.id
Baca Selengkapnya......

DO’A, BACAAN AL-QUR’AN, SHADAQOH & TAHLIL UNTUK ORANG MATI

Download Artikel ini ke PDF (Klik Disini !!)
Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.


KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)



Sumber : www.nu.or.id
Baca Selengkapnya......

DOA PADA 7 ATAU 40 HARI SETELAH KEMATIAN

Download artikel ini ke PDF (Klik Disini !!)
Sudah menjadi tradisi orang NU, kalau ada keluarga yang meninggal, malam harinya ada tamu-tamu yang bersilaturrahim, baik tetangga dekat maupun jauh. Mereka ikut belasungkawa atas segala yang menimpa, sambil mendoakan untuk yang meninggal maupun yang ditinggalkan.
Selain bersiap menerima tamu, sanak keluarga, handai tolan, dan keluarga dekat, pada hari kedua sampai ketujuh, mereka akan mengadakan bacaan tahlil dan do’a yang dikirimkan kepada yang sudah meninggal dunia. Soal ada makanan atau tidak, bukan hal penting, tapi pemanfaatan pertemuan majelis silaturrahim itu akan terasa lebih berguna jika diisi dengan dzikir.
Sayang, bagi orang-orang awam yang kebetulan dari keluarga miskin, mereka memandang sajian makanan sebagai keharusan untuk disajikan kepada para tamu, padahal substansinya sebenarnya adalah bacaan tahlil dan do’a adalah untuk menambah bekal bagi si mayit.
Kemudian, peringatan demi peringatan itu menjadi tradisi yang seakan diharuskan, terutama setelah mencapai 40 hari, 100 hari, setahun (haul), dan 1000 hari. Semua itu berangkat dari keinginan untuk menghibur pada keluarga yang di tinggalkan sekaligus ingin mengambil iktibar bahwa kita juga akan menyusul (mati) di kemudian hari.
Dalil yang dapat dibuat pegangan dalam masalah ini adalah:
قَالَ طَاوُسَ: إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تَلْكَ اْلأيّاَمِ إلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتِنُ رَجُلانِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتِنُ سَبْعًا وَأمَّا الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ أرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)
Jika suatu amaliyah atau ibadah sudah menjadi keputusan atau atsar atau amal sahabat (dalam hal ini Tاawus) maka hukumnya sama dengan hadits mursal yang sanadnya sampai kepada Tabi’in, dan dikatagorikan shahih dan telah dijadikan hujjah mutlak (tanpa syarat). Ini menurut tiga imam (Maliki, Hanafi, Hambali).
Sementara Imam Syafi’i hanya mau berhujjah dengan hadits mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadits yang lain atau kesepakatan sahabat. Dalam hal ini, seperti disebut di atas, ada riwayat dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan Tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.
Maksud dari kalimat فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ atau "sebaiknya mereka" dalam keterangan di atas adalah bahwa orang-orang di zaman Nabi Muhammad SAW melaksanakan hal itu, sedang Nabi sendiri tahu dan mengafirmasinya. (Al Hawi lil Fatawa as Syuyuti, Juz II hal 183)
KH Munawwir Abdul Fattah
Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta



Sumber : www.nu.or.id
Baca Selengkapnya......

Thursday, July 30, 2009

ADZAN JUM’AT DUA KALI

Download Artikel ini ke PDF KLIK DISINI !!!

Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.

Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jum'at hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan :
عَنْ سَائِبٍ قَالَ, سَمِعْتُ السَائِبَ بنَ يَزِيْدٍ يَقُوْلُ إِنَّ الأَذَانَ يَوْمَ الجُمْعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ الإِمَامُ يَوْمَ الجُمْعَةِ عَلَى المِنْبَرِ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِيْ خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الجُمْعَةِ بِالأَذَانِ الثَّالِثِ فَأَذَانَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلَى ذَالِكَ


Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih al-Bukhari: 865)

Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :
وَيُسَنُّ أَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٍ قَبْلَ الفَجْرِ وَآخرِ بَعْدَهُ فَإِن اقَتَصَرَ فَالأَوْلَى بَعْدَهُ, وَأَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الخَطِيْبِ المِنْبَرَ وَالأَخَرُ الَّذِيْ قَبْلَهُ

"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat ٍٍٍShubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)

Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan :
ثُمَّ إِنَّ فِعْلَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِجْمَاعاً سُكُوْتِياً لأَِنَّهُمْ لاَ يُنْكِرُوْنَهُ عَلَيْهِ

"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249)

Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)

Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT. Wallahu a’lam bis-shawab.

H.M.Cholil Nafis, MA.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Sumber : www.nu.or.id
Baca Selengkapnya......

Wednesday, July 29, 2009

CARA SHOLAT RASULULLAH SAW


(Download Artikel ini ke PDF)


Saudaraku yang kumuliakan, dibawah ini tata cara Shalat yang diajarkan Rasul saw, Semoga bermanfaat bagi anda :

Hadits 1
Sebagaimana yang diambil dari hadits Rasul saw yang diriwayatkan oleh Aby Hurairoh ra sengguhnya Rasullulah saw berkata : “ Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat maka berwudhulah dengan sempurna, kemudian menghadap kiblat, kemudian engkau bertakbir kemudian bacalah yang termudah bagimu dari AlQur’an, kemudian engkau berrukuk hingga tuma’ninah dalam berukuk kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal), kemudin bersujut hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujut, kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu kemudian engkau sujud kedua kalinya hingga bertuma’ninah dalam sujut, kemudian lakukanlah seperti yang tadi diseluruh shalatmu” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

dalam Riwayat Muslim Rasullulah saw berkata : “Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu”


Hadits 2
Riwayat An Ibn Umar ra Rasulullah saw berkata : “ketika duduk untuk berTasyahud menaruh tangan kiri diatas lutut sebelah kiri dan tangan kanannya diatas lutut sebelah kanan, dan memajukan jari telunjuk, dalam Riwayat Muslim (mengumpulkan semua jarinya dan menunjuk dengan jari yang setelah jari jempol).

Hadits 3
Riwayat An Aby Mashud ra shabat Basyir bin Syaid “Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu, kemudian Rasul saw terdiam lalu Rasulullah saw menjawab “ katakanlah, Allahumma Shali’alla Muhammadin wa’alla ali Muhammad kama shalaita ala Ibrahimma…” sampai dengan akhir shalawat Ibrahimiyah. (HR. Muslim). (Ditambahkan oleh Ibn khuzaimah bagaimana kami bershalawat atasmu jika kami dalam shalat).


Hadits 4
Sabda Rasulullah saw “sesungguhnya Rasulullah saw menutup shalatnya dengan salam” (HR.Imam Bukhari dan Muslim) dan dari Wail bin Hujr ra “aku shalat bersama Rasul saw dan beliau salam awal sebelah kanan (Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabarokatu) dan salam akhir sebelah kiri (Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabarokatu)”.( HR. Abu daut dengan sanad sahih )


RUKUN SHALAT ADA 17

1. Niat,
sebagaimana hadits 1 diatas “Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat,,,” dan Hadits Rasul saw “sesungguhnya amal itu dengan niat”

2. Menghadap kiblat dan berdiri dalam shalat Fardhu,
dari susunan hadist 1 diatas bahwa hendaknya menghadap kiblat sebelum bertakbir (syarah dari Imam alwi abbas al Maliki kitab Ibanatul ahkam)

3. Bertakbir,
yaitu membuka shalat dalam takbirratul ikhram (pendapat terbanyak dari Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki bahwa takbiratul ikhram wajib dengan lafdz ‘Allahhu Akbar’)


4. Membaca Alfatihah,
para ulama sepakat Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki wajibnya membaca Alfatihah disetiap rakaatnya. sebagaimana Hadits Rasulullah saw : “ Tidak sempurna shalat seseorang bila tidak membaca biummil Qur’an (Al Fatihah)” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Rukuk,
diriwayatkan oleh sahabat Rasulullah saw Ubbayd assaa’idi ra berkata : “bahwasannya melihat Rasulullah saw jika bertakbir kedua tangannya sejajar dengan bahunya, jika berukuk kedua tangannnya memegang kedua lututnya, sampai dengan akhir…..” ( HR. Imam Bukhari dan Muslim)

6. Tuma’ninah dalam berrukuk,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudian engkau berrukuk hingga tuma’ninah dalam berukuk…”

7. I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “… kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal)…”

8. Tuma’ninah dalam I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “…Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu…”

9. Sujud pertama dan Sujud kedua,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujut hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujut…” dan Hadits Rasulullah saw : “aku diperintah untuk bersujud dengan 7 anggota tubuh (atas dahi, kedua tangan, kedua lutut dan jari-jari kaki)” ( HR. Mutafaqul’alayh). Sabda Rasul saw : “Bahwa engkau sujud maka taruhlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu” (HR. Muslim)

10. Tuma’ninah dalam sujud pertama dan tuma’ninah dalam sujud kedua,

sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujud hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujud…”

11. Duduk diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) …”

12. Tuma'ninah diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu…”

13. Tasyahud akhir,

Riwayat Muslim dari Ibn Abbas berkata Rasul saw mengajari kami tasyahud “Attahiyatul mubaarakatus shalawatutthoybatulillah…” sampai dengan akhir.

14. Duduk diTasyahud akhir,
sebagaimana hadits 2 diatas “ ketika duduk untuk berTasyahud…”

15. Bershalawat kepada Rasul saw,
sebagaimana hadits 3 diatas “ Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu…”.

Imam Syafi’I berpendapat bahwa beshalawat atas Rasul saw dan keluarganya dalam shalat adalah Wajib bagi kita, sebagaimana hadits 3 diatas.

16. Salam,
sebagaimana hadits 4 diatas “sesungguhnya Rasulullah saw menutup shalatnya dengan salam” (HR. Imam Bukhari dan Muslim). Sebagaimana hadits 4 maka para Imam beritifak bahwa salam awal wajib bagi seorang imam atau ma’mum atau sendiri dan salam kedua sunah, dan paling sedikitnya salam (Assalamu’alaikum) dikarnakan penduduk madinah melakukannya. (Kitab Ibbanatul Ahkam: Imam Alwi bin Abbas al maliki)



17. Tertib,


Sebagaimana urutan rukun – rukun hadits diatas.

Sumber : www.majelisrasulullah.org
Baca Selengkapnya......

DO'A ISTIGHOTSAH

(Download Artikel ini ke PDF)

Berikut ini adalah doa-doa yang dibaca dalam istighotsah, sebagaimana dalam buku “Panduan Praktis Istighotsah” oleh Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU):
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
الفَاتِحَة x1

(Surat Al-Fatihah)
أسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ x3

Saya mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِا للهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ x3

Tiada daya untuk menjauhi maksiat kecuali dengan pemeliharaan Allah dan tiada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah
أللَّهُمَّ صَلِّي عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ x3

Ya Allah. Limpahkanlah rahmat dan kemuliaan kepada junjungan kami Nabi Muhammad berserta keluarganya
لَا إلهَ إلَّا أنْتَ سُبْحَانَكَ إنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ x40

Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau, Sungguh aku termasuk orang-orang yang telah berbuat dzalim
يَا اَللهُ يَا قَدِيْمُ x33

Wahai Allah, wahai Dzat yang ada tanpa permualaan
يَا سَمِيْعُ يَا بَصِيْرُ x33

Wahai Allah, wahai Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat
يَا مُبْدِعُ يَا خَالِقُ x33


Wahai Dzat yang mewujudkan sesuatu dari tidak ada, wahai Dzat Yang Maha Pencipta
يَا حَفِيْظُ يَا نَصِيْرُ يَا وَكِيْلُ ياَ اللهُ x33

Wahai Dzat yang memelihara dari keburukan dan kebinasaan, wahai Dzat Yang Maha Menolong, wahai Dzat yang menjamin rizki para hamba dan mengetahui kesulitan-kesulitan hamba, ya Allah
يَا خَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أسْتَغِيْثُ x33

Wahai Dzat Yang Hidup, yang terus menerus mengurus makhluknya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan-MU
يَا لَطِيْفُ x41

Wahai Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
أسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ إنَّهُ كَانَ غَفَّارًا x33

Aku mohon ampung kepada Allah Yang Maha Agung, sunggu Allah Dzat Yang Maha Pengampun
أللَّهُمَّ صَلِّي عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ قَدْ ضَاقَتْ حِيْلَتِي أدْرِكْنِي

يَا اَللهُ x3

Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan kemuliaan kepada junjungan kami Nabi Muhammad, sungguh telah habis daya dan upayaku maka tolonglah kami, Ya Allah Ya Allah Ya Allah
أللّهُمَّ صَلِّي صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ الّذِي تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ x1

Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, dan berkat dirinya yang mulia hujanpun turun, dan semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau
يَا بَدِيْعُ x41

Wahai Dzat yang menciptakan makhluk tanpa ada contoh sebelumnya

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ x33

Cukup bagi kami Allah, dan Dia sebaik-baik penolong
يس x1

(Surat Yasiin)
اللهُ أكْبَرُ يَا رَبَّنَا وَإلَهَنَا وَسَيِّدَنَا أنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ x3

Allah maha besar maha mulia, Wahai Tuhan kami, sesembahan kami, tuan kami, Engkau-lah penolong kami, menangkan kami atas orang¬orang kafir
حَصَّنْتُكُمْ بِالْحَيِّ الْقَيُّوْمِ الَّذِيْ لَا يَمُوْتُ أبَدًا وَدَفَعْتُ عَنْكُمُ السُّوْءَ بِألْفِ ألْفِ ألْفِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِا للهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ x3

Aku mohonkan pemeliharaan untuk kalian kepada Dzat yang maha hidup dan terus menerus mengatur hamba-Nya yang tidak pernah mati selamanya, dan aku tolak dan hindarkan dari kalian segala keburukan dengan sejuta bacaan “La haula wa la quwwata illa billahil aliyyil adzim”
الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أنْعَمَ عَلَيْنَا وَهَدَانَا عَلَى دَيْنِ الإسْلَامِ x3

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat dan petunjuk kepada agama Islam
بِسْمِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ لَا يَسُوْقُ الْخَيْرَ إلَّا اللهِ بِسْمِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ لَا يَصْرِفُ السُّوْءَ إلَّا اللهُ بِسْمِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ مَا كَانَ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ بِسْمِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِا للهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ x1

Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali la. Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, tidak ada yang menyingkirkan keburukan kecuali la. Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, tidak ada kenikmatan melainkan dari Allah. Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, tiada daya untuk berbuat kebaikan kecuali dengan pertolongan Allah dan tiada kekuatan untuk menghindar dari perbuatan maksiat kecuali dengan perlindungan Allah yang maha Mulia dan maha agung
سَألْتُكَ يَا غَفَّارُ عَفْوًا وَتَوْبَةً وَبِالْقَهْرِ يَا قَهَّارُ خُذْ مَنْ تَحَيَّلَا x3

Ya Allah, aku memohon ampunan dan taubat yang diterima kepada-Mu Ya Allah yang maha pengampun, dan dengan kekuatan dan kekuasaan-Mu Wahai Dzat yang maha mengalahkan, tundukkan dan hukumlah orang yang melakukan tipu muslihat dan ingin mencelakai kami
يَا جَبَّارُ يَا قَهَّارُ يَا ذَا الْبَطْشِ الشَّدِيْدِ خُذْ حَقَّنَا وَحَقَّ الْمُسْلِمِيْنَ مِمَّنْ ظَلَمَنَا وَالْمُسْلِمِيْنَ وَتَعَدَّى عَلَيْنَا وَعَلَى الْمُسْلِمِيْنَ x3

Wahai Dzat yang maha mengalahkan, maha menundukkan, Dzat yang keras azab-Nya, ambilkan hak-hak kami dan hak-hak umat Islam dari orang-orang yang menzhalimi kami dan menzhalimi umat Islam, yang telah menganiaya kami dan menganiaya umat Islam
الفَاتِحَة x1

(Surat Al-Fatihah)
التَّهْلِيْل

(Bacaan tahlil lengkap...)
Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?"


Sumber : www.nu.or.id
Baca Selengkapnya......

PRAKTIK BID'AH HASANAH PARA SAHABAT SETELAH RASULULLAH WAFAT

(Download Artikel ini ke PDF)

Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا


Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:
a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
b. Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:

"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".
c. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai¬mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.
d. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-¬nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu¬juinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?
e. Di antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.
f. Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-¬orang yang berbuat bid'ah dan sesat.

Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya
"Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?"


Sumber : www.nu.or.id
Baca Selengkapnya......

BERJABAT TANGAN USAI SHOLAT


(Download Artikel ini ke PDF)

Sudah berlaku di masyarakat kita, setelah selesai sholat berjama’ah, satu sama lain saling bersalaman. Apakah itu ada dasar hukumnya, lantas apa faedahnya?
Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan semakin kuat, persatuan semakin kokoh. Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk bersalaman ketika bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang datang dari bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunnahkan juga saling berangkulan (mu’anaqah).
Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, Rasulullah SAW bersabda bahwa dua orang yang bertemu dan bersalaman akan diampuni dosa mereka sebelum berpisah. (HR Ibnu Majah)
Berdasarkan hadits inilah ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan itu dikatakan bid’ah (hal baru) karena tidak ada penjelasan mengenai keutamaan bersalaman usai sholat, maka bid’ah yang dimaksud di sini adalah bid’ah mubahah, yang diperbolehkan. (Soal bid’ah, lihat penjelasannya dalam fasal tentang bid’ah).

Imam Nawawi menyatakan, bersalaman sangat baik dilakukan. Sempat ditanyakan, bagaimana dengan bersalaman yang dilakukan usai shalat? Menurut Imam Nawawi, salaman usai shalat adalah bid’ah mubahah dengan rincian hukum sebagai berikut: Jika dua orang yang bersalaman sudah bertemu sebelum shalat maka hukum bersalamannya mubah saja, dianjurkan saja, namun jika keduanya berlum bertemu sebelum shalat berjamaah hukum bersalamannya menjadi sunnah, sangat dianjurkan. (Dalam Fatâwî al-Imâm an-Nawâwî)
Bahkan sebagian ulama mengatakan, orang yang sholat itu sama saja dengan orang yang ghaib alias tidak ada di tempat karena bepergian atau lainnya. Setelah sholat, seakan-akan dia baru datang dan bertemu dengan saudaranya. Maka ketika itu dianjurkan untuk berjabat tangan. Keterangan ini diperoleh dari kita Bughyatul Muytarsyidîn.
Jadi bisa disimpulkan, hukum bersalaman usai shalat adalah mubah atau boleh, bahkan menjadi sunnah jika sebelum shalat kedua orang yang bersalaman belum bertemu.

KH. Muhyiddin Abdusshomad
Ketua PCNU Jember, Jawa Timur


Sumber : www.nu.or.id
Baca Selengkapnya......

73 GOLONGAN UMAT ISLAM

(Download Artikel ini ke PDF)

Imam Turmudzi, Abu Dawud dan Ibn Majah, masing-masing dalam kitab Sunan-nya meriwayatkan hadits tentang penggolongan umat Islam menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan atau firqoh, dan hanya satu golongan di antaranya yang selamat dari ancaman siksa neraka, yaitu golongan yang konsisten pada ajaran Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya (Jama’ah) atau yang kemudian disebut dengan sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) sebagaimana disebut dalam karya monumentalnya, Al-Farq bainal-Firaq hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa sumber sanad, antara lain; Anas bin Malik, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr, Abu Umamah dan Watsilah bin al-Asqa.
Respon para ulama kalam terhadap hadits tersebut ternyata tidak sama. Setidaknya, ada tiga macam respon yang diberikan;
Pertama, hadits-hadits tersebut digunakan sebagai pijakan yang dinilainya cukup kuat untuk menggolongkan umat Islam menjadi 73 firqah, dan di antaranya hanya satu golongan yang selamat dari neraka, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antara kelompok ini antara lain; Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (Al-Farq bainal-Firaq), Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfarayini (at-Tabshir fid Din), Abu al-Ma’ali Muhammad Husain al-‘Alawi (Bayan al-Adyan), Adludin Abdurrahman al-Aiji (al-Aqa’id al-Adliyah) dan Muhammad bin Abdulkarim asy-Syahrastani (al-Milal wan Nihal). Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (vol-3) menilai bahwa hadits tersebut dapat diakui kesasihannya.
Kedua, hadits-hadits tersebut tidak digunakan sebagai rujukan penggolongan umat Islam, tetapi juga tidak dinyatakan penolakannya atas hadits tersebut. Di antara mereka itu, antara lain; Imam Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful Mushollin) dan Imam Abu Abdillah Fakhruddin ar-Razi (I’tiqadat firaqil Muslimin wal Musyrikin). Kedua pakar ilmu kalam ini telah menulis karya ilmiahnya, tanpa menyebut-nyebut hadits-hadits tentang Iftiraq al-Ummah tersebut. Padahal al-Asy’ari disebut sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ketiga, hadits Iftiraqul Ummah tersebut dinilai sebagai hadits dla’if (lemah), sehingga tidak dapat dijadikan rujukan. Di antara mereka adalah Ali bin Ahmad bin Hazm adh-Dhahiri, (Ibn Hazm, al-Fishal fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal).
Pengertian firqah atau golongan dalam hadits tersebut, oleh para ulama dan para ahli tersebut, berkaitan dengan Ushuluddin (masalah-masalah agama yang fundamental dan prinsipil), bukan masalah furu’iyyah atau fiqhiyyah yang berkaitan dengan hokum-hukum amaliyah atau yang kerap disebut sebagai masalah khilafiyah, semacam qunut shalat subuh, jumlah raka’at tarawih, ziarah kubur, dan lain-lain.
Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul-Hamid, seorang ulama’ yang banyak men-tahqiq karya-karya unggulan dalam ilmu kalam, seperti karya Imam al-Asy’ari, al-Baghdadi di atas, menyatakan kesulitannya untuk memperoleh hitungan yang valid terhadap firqoh-firqoh baru, seperti Ahmadiyah dan lain-lain.
Demikian itulah masalah yang muncul dari hadits 73 firqoh. Selain itu, ada masalah-masalah lain yang masih memerlukan studi lebih lanjut yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyyah dan diniyyah, seperti; apa yang dijadikan parameter untuk menentukan suatu kelompok umat ini menjadi firqah tertentu yang mandiri yang berbeda statusnya dari kelompok lain. Lalu, apa sebetulnya yang paling banyak menjadi pemicu timbulnya firqah-firqah tersebut?
Terakhir, sejauhmana peran realitas historis dan kultural dalam mempengaruhi perjalanan dan dinamika firqah-firqah tersebut. Tentu saja, masih banyak lagi yang perlu dikaji lebih lanjut.

Prof KH Tholchah Hasan
Wakil Ra'is Am Syuriah PBNU


Sumber : www.nu.or.id

Baca Selengkapnya......

Tuesday, July 28, 2009

PENJELASAN ZIARAH KUBUR


(Download Artikel ini ke PDF)
(Download Buku “Kenalilah Akidahmu”)


Ziarah kubur adalah mendatangi kuburan dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur dan sebagai pelajaran (ibrah) bagi peziarah bahwa tidak lama lagi juga akan menyusul menghuni kuburan sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.

Ketahuilah berdoa di kuburan pun adalah sunnah Rasulullah saw, beliau saw bersalam dan berdoa di Pekuburan Baqi’, dan berkali kali beliau saw melakukannya, demikian diriwayatkan dalam shahihain Bukhari dan Muslim, dan beliau saw bersabda :

“Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”.
(Shahih Muslim hadits no.977 dan 1977)

Dan Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mengucapkan salam untuk ahli kubur dengan ucapan “Assalaamu alaikum Ahladdiyaar minalmu’minin walmuslimin, wa Innaa Insya Allah Lalaahiquun, As’alullah lana wa lakumul’aafiah..” (Salam sejahtera atas kalian wahai penduduk penduduk dari Mukminin dan Muslimin, Semoga kasih sayang A llah atas yang terdahulu dan yang akan datang, dan Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian) (Shahih Muslim hadits no 974, 975, 976). Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersalam pada Ahli Kubur dan mengajak mereka berbincang-bincang dengan ucapan “Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian”.


Rasul saw berbicara kepada yang mati sebagaimana selepas perang Badr, Rasul saw mengunjungi mayat mayat orang kafir, lalu Rasulullah saw berkata : “wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalf, wahai ‘Utbah bin Rabi’, wahai syaibah bin rabi’ah, bukankah kalian telah dapatkan apa yang dijanjikan Allah pada kalian…?!, sungguh aku telah menemukan janji tuhanku benar..!”, maka berkatalah Umar bin Khattab ra : “wahai rasulullah.., kau berbicara pada bangkai, dan bagaimana mereka mendengar ucapanmu?”, Rasul saw menjawab : “Demi (Allah) Yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama sama mendengarku), akan tetapi mereka tak mampu menjawab” (shahih Muslim hadits no.6498).

Makna ayat : “Sungguh Engkau tak akan didengar oleh yang telah mati”. Berkata Imam Qurtubi dalam tafsirnya makna ayat ini bahwa yang dimaksud orang yang telah mati adalah orang kafir yang telah mati hatinya dengan kekufuran, dan Imam Qurtubi menukil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasul saw berbicara dengan orang mati dari kafir Quraisy yang terbunuh di perang Badr. (Tafsir Qurtubi Juz 13 hal 232).

Berkata Imam Attabari rahim ahullah dalam tafsirnya bahwa makna ayat itu : bahwa engkaua wahai Muhammad tak akan bisa memberikan kefahaman kepada orang yang telah dikunci Allah untuk tak memahami (Tafsir Imam Attabari Juz 20 hal 12, Juz 21 hal 55, )

Berkata Imam Ibn katsir rahimahullah dalam tafsirnya : “walaupun ada perbedaan pendapat tentang makna ucapan Rasul saw pada mayat mayat orang kafir pada peristiwa Badr, namun yang paling shahih diantara pendapat para ulama adalah riwayat Abdullah bin Umar ra dari riwayat riwayat shahih yang masyhur dengan berbagai riwayat, diantaranya riwayat yang paling masyhur adalah riwayat Ibn Abdilbarr yang menshahihkan riwayat ini dari Ibn Abbas ra dengan riwayat Marfu’ bahwa : “tiadalah seseorang berziarah ke makam saudara muslimnya didunia, terkecuali A llah datangkan ruhnya hingga menjawab salamnya”, dan hal ini dikuatkan dengan dalil shahih (riwayat shahihain) bahwa Rasul saw memerintahkan mengucapkan salam pada ahlilkubur, dan salam hanyalah diucapkan pada yang hidup, dan salam hanya diucapkan pada yang hidup dan berakal dan mendengar, maka kalau bukan karena riwayat ini maka m ereka (ahlil kubur) adalah sama dengan batu dan benda mati lainnya. Dan para salaf bersatu dalam satu pendapat tanpa ikhtilaf akan hal ini, dan telah muncul riwayat yang mutawatir (riwayat yang sangat banyak) dari mereka, bahwa Mayyit bergembira dengan kedatangan orang yang hidup ke kuburnya”. Selesai ucapan Imam Ibn Katsir (Tafsir Imam Ibn Katsir Juz 3 hal 439).

Rasul saw bertanya2 tentang seorang wanita yang biasa berkhidmat di masjid, berkata para sahabat bahwa ia telah wafat, maka rasul saw bertanya : “mengapa kalian tak mengabarkan padaku?, tunjukkan padaku kuburnya” seraya datang ke kuburnya dan menyolatkannya, lalu beliau saw bersabda : “Pemakaman ini penuh dengan kegelapan (siksaan), lalu Allah menerangi pekuburan ini dengan shalatku pada mereka” (shahih Muslim hadits no.956)

Abdullah bin Umar ra bila datang dari perjalanan dan tiba di Madinah maka ia segera masuk masjid dan mendatangi Kubur Nabi saw seraya berucap : Assalamualaika Yaa Rasulallah, Assalam ualaika Yaa Ababakar, Assalamualaika Ya Abataah (wahai ayahku)”. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.10051)

Berkata Abdullah bin Dinar ra : Kulihat Abdullah bin Umar ra berdiri di kubur Nabi saw dan bersalam pada Nabi saw lalu berdoa, lalu bersalam pada Abubakar dan Um ar ra” (Sunan Imam Baihaqiy ALkubra hadits no.10052). Sabda Rasulullah saw : Barangsiapa yang pergi haji, lalu m enziarahi kuburku setelah aku wafat, maka sama saja dengan mengunjungiku saat aku hidup (Sunan Imam Baihaqiy Alkubra hadits no.10054).

Dan masih banyak lagi kejelasan dan memang tak pernah ada yang mengingkari ziarah kubur sejak Zaman Rasul saw hingga kini selama 14 abad (seribu empat ratus tahun lebih semua muslimin berziarah kubur, berdoa, bertawassul, bersalam dll tanpa ada yang mengharamkannya apalagi m engatakan musyrik kepada yang berziarah, hanya kini saja muncul dari kejahilan dan kerendahan pemahaman atas syariah, munculnya pengingkaran atas hal hal mulia ini yang hanya akan m enipu orang awam, karena hujjah hujjah mereka Batil dan lemah.

Dan mengenai berdoa dikuburan sungguh hal ini adalah perbuatan sahabat radhiyallahu’anhu sebagaimana riwayat diatas bahwa Ibn Umar ra berdoa dimakam Rasul saw, dan memang seluruh permukaan Bumi adalah milik Allah swt, boleh berdoa kepada Allah dimanapun, bahkan di toilet sekalipun boleh berdoa, lalu dimanakah dalilnya yang mengharamkan doa di kuburan?, sungguh yang mengharamkan doa dikuburan adalah orang yang dangkal pemahamannya, karena doa boleh saja diseluruh muka bumi ini tanpa kecuali.

Walillahittaufiq

Sumber : www.majelisrasulullah.org

Dari buku Kenalilah Akidahmu karangan Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa
Baca Selengkapnya......

Monday, July 27, 2009

NISHFU SYA'BAN

(Download Artikel Ini ke PDF)

BULAN SYA'BAN (bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Hijriyah) adalah bulan yang penuh keutamaan namun sering dilupakan umat Islam karena bulan ini diapit oleh dua bulan utama. Pertama, bulan Rajab yang teristimewa karena pada bulan ini terjadi peristiwa besar Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dan kemudian mulailah ada kewajiban melaksanakan shalat lima waktu. Kedua bulan Ramadhan, saat kaum muslimin diwajibkan menjalankan puasa sebulan suntuk dan saat pahala kebaikan dilipatgandakan.

Sedianya bulan Sya’ban tidak dilupakan karena setelah mendapatkan banyak pelajaran tentang Isra’ Mi’raj dan setelah membenahi shalat kita pada akhir bulan Rajab, maka pada bulan Sya’ban saatnyalah mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan.

Lagi pula, dalam bulan Sya’ban sendiri terdapat berbagai keistimewaan. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT turun pada malam Nishfu Sya'ban (pertengahan Sya’ban) ke langit dunia dan akan mengampuni manusia lebih dari jumlah banyaknya bulu kambing dan anjing. [HR Tirmizi].

Mu'az Ibn Jabal meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pada malam Nishfu Sya'ban. Allah akan melihat semua makhluk-Nya, kemudian mengampuni mereka kecuali yang musyrik dan orang yang memusuhi orang lain. [HR Sunan Ibn Majah].

Oleh para ahli hadits, dua hadits di atas dianggap yang tidak terlalu valid alias dla’if karena ada beberapa kesimpangsiuran dalam periwayatan dan mengenai periwayat haditsnya (sanad). Namun guna menyemangati hamba dalam menjalankan ibadah (fadlailul a’mal) para ulama membolehkan hadits ini sebagai pegangan. Selain itu, diriwayatkan juga Rasulullah SAW paling mencintai bulan ini dan beliau tidak melakukan puasa (selain Ramadhan) sebanyak puasa di bulan ini [HR Ahmad dari Usamah bin Zaid].

Nah, ada perbedaan pendapat diantara umat Islam dalam menyikapi satu hal dalam bulan ini, yaitu yang tersebut dalam hadits di atas sebagai Nishfu Sya’ban. Nishfu artinya setengah atau pertengahan. Nishfu Sya'ban berarti pertengahan bulan Sya'ban atau malam tanggal 15 Sya'ban dan esok harinya. Sebagian besar umat Islam menjalankan berbagai macam ibadah pada malam nisfu sya’ban, namun umat Islam yang lain ada yang tidak sepakat dan bahkan menganggap ibadah yang telah dilakukan oleh umat Islam pada malam Nishfu Sya’ban itu sebagai ibadah yang menyimpang atau mengada-ngada (bid’ah) karena tidak dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi secara langsung.

Ibn al-Jauzi memopulerkan hadits dari Abi Hurairah bahwa Nabi SAW telah bersabda: Siapa yang melakukan shalat pada malam Nishfu Sya'ban sebanyak dua belas rakaat dan membaca qul huwallahu ahad (Surat al-Ihlas) tiga puluh kali pada setiap rakaatnya, ia tidak akan keluar dari dunia ini sebelum melihat tempat duduknya di dalam surga dan memberi syafa'at sepuluh orang ahli keluarganya yang seluruh masuk neraka.

Di dalam hadits ini ada enam orang perawinya yang identitasnya kurang lengkap (majhul), yaitu: Ahmad Ibn 'Ali Al-Khatib, Abu Sahl 'Abd As-Samad Ibn Muhammad Al-Qantari, Abu Al-Hasan 'Ali Ibn Ahmad Al-Yunani, Ahmad Ibn 'Abd Allah Ibn Dawud, Muhammad Ibn Jabhan, dan 'Umar Ibn Ar-Rahim.

Hadits lain ditakhrij oleh oleh Imam As-Suyuti bahwa Ibrahim meriwayatkan 'Ali Ibn Abi Talib melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya'ban berdiri lalu beliau melakukan shalat empat belas rakaat. Setelah selesai lalu Nabi duduk kemudian membaca ummul Qur'an (Surat Al-Fatihah) empat belas kali, qul huwallahu ahad (Surat al-Ihlas) empat belas kali, ayat kursi satu kali. Ketika Nabi selesai shalat Ali bertanya tentang apa yang telah dia lihat. Rasulullah SAW lalu bersabda: "Siapa yang melakukan yang seperti apa yang telah engkau lihat, adalah baginya seperti dua puluh kali mengerjakan haji yang mabrur (sempurna), puasa dua puluh tahun yang maqbul (diterima), dan jika ia puasa pada siangnya, ia seperti puasa enam puluh tahun yang sudah lalu dan setahun yang akan datang.

Hadits yang tersebut di atas juga menyandung tujuh orang perawinya yang majhul bahkan ada seorang perawi yang dianggap sebagai pemalsu hadits yaitu Muhammad Ibn al-Muhajir sebagaimana penilaian yang dikemukakan oleh As-Suyuti sendiri.

Dengan demikian hadits-hadits yang menjelaskan ibadah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW seperti di atas adalah dla’if. Para ulama menyatakan bahwa hadits dla’if dapat diamalkan dan diikuti sebatas sebagai penyemangat ibadah (fadailul a'mal), berisi nasihat-nasihat dan cerita-cerita baik, bukan untuk menentukan halal dan haram dan tidak berhubungan dengan sifat-sifat Allah SWT. Pendapat ini diperpegangi oleh Ahmad Ibn Hanbal, an-Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, As-Suyuti, dan lainnya.

Perdebatan di kalangan umat Islam juga semakin mendalam ketika ada kalangan umat Islam lainya yang tidak menyia-nyiakan malam nisfu Sya’ban untuk melakukan beberapa keutamaan seperti membaca surat yasin dan tahlil. Bagi kalangan yang terlalu kaku menganggap ibadah ini mengada-ngada karena jelas-jelas tidak ada hadits yang dloif sekalipun. Kalangan yang tersebut barusan tidak melakukan ibadah apapun yang pada waktu-waktu tertentu tidak dilakukan, diperintahkan atau dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. (A. Khoirul Anam)

sumber : www.nu.or.id

Baca Selengkapnya......

Penjelasan TAHLILAN

(Download Artikel ini ke PDF)
(Download buku "Kenalilah Akidahmu")
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejum lah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.

Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukum nya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?

Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulam a ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ m in ‘amalilghair (m endapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : "DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,

Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur'an untuk m endoakan orang yang telah wafat : "WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN", (QS Al Hasyr-10).


Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Im am yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.

Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekum pulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,

Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di A l Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imam ulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang m elarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah m ereka yang melarang orang m engucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk m elarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).

Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau m eninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya.

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :

Berkata Imam A lhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.

Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.

Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H


Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

Walillahittaufiq

Sumber : www.majelisrasulullah.org

Dari buku Kenalilah Akidahmu karangan Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa
Baca Selengkapnya......

PENJELASAN TABARRUK

(Download artikel ini ke PDF)
(Download buku "Kenalilah Akidahmu")

Mengambil Keberkahan Dari Mengambil Keberkahan Dari Bekas atau Tubuh Shalihin


Banyak orang yang keliru memahami makna hakikat tabarruk dengan Nabi Muhammad saw, peninggalan-peninggalannya saw, dan para pewarisnya yakni para ulama, para kyai dan para wali dan shalihin. Karena hakekat yang belum mereka pahami, mereka berani menilai kafir (sesat) atau musyrik terhadap mereka yang bertabarruk pada Nabi saw atau ulama.

Mengenai azimat
(Ruqyyat) dengan huruf arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama itu tidak menduakan A llah swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat atau doa disebutkan pada kitab Faidhulqadir Juz 3 hal 192, dan Tafsir Imam Qurtubi Juz 10 hal.316/317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya hal tersebut, karena itu sem ata mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat ayat Alqur’an.

Mengenai benda-benda keramat, maka ini perlu penjelasan yang sejelas jelasnya, bahwa benda benda keramat itu tak bisa membawa manfaat atau mudharrat, namun mungkin saja digunakan Tabarrukan (mengambil berkah) dari pemiliknya dahulu, misalnya ia seorang yang shalih, maka sebagaimana diriwayatkan : Para sahabat seakan akan hampir saling berkelahi saat berdesakan berebutan air bekas wudhunya Rasulullah saw (Shahih Bukhari Hadits no. 186),

Allah swt menjelaskan bahwa ketika Ya’qub as dalam keadaan buta, lalu dilemparkanlah ke wajahnya pakaian Yusuf as, maka iapun melihat, sebagaimana Allah menceritakannya dalam firman Nya SWT :

“(Berkata Yusuf as pada kakak kakaknya) PERGILAH KALIAN DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU, MAKA IA AKAN SEMBUH DARI BUTANYA” (QS Yusuf 93), dan pula ayat : “MAKA KETIKA DATANG PADANYA KABAR GEMBIRA ITU, DAN DILEMPA RKAN PADA WAJAHNYA (pakaian Yusuf as) MAKA IA (Ya’qub as) SEMBUH DARI KEBUTAANNYA” (QS Yusuf 96).

Ini merupakan dalil Alqur’an, bahwa benda/pakaian orang orang shalih dapat menjadi perantara kesembuhan dengan izin Allah tentunya, kita bertanya mengapa Allah sebutkan ayat sedemikian jelasnya?, apa perlunya menyebutkan sorban yusuf dengan ucapannya : “PERGILAH KALIAN DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU, MAKA IA AKA N SEMBUH DARI BUTANYA” .

Untuk apa disebutkan masalah baju yang dilemparkan kewajah ayahnya?, agar kita memahami bahwa Allah SWT memuliakan benda benda yang pernah bersentuhan dengan tubuh hamba hamba Nya yang shalih. kita akan lihat dalil dalil lainnya.

Setelah Rasul saw wafat maka Asma binti Abubakar shiddiq ra menjadikan baju beliau saw sebagai pengobatan, bila ada yang sakit maka ia mencelupkan baju Rasul saw itu di air lalu air itu diminumkan pada yang sakit (shahih Muslim hadits no.2069).

Rasul saw sendiri menjadikan air liur orang mukmin sebagai berkah untuk pengobatan, sebagaimana sabda beliau : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin tuhan kami” (shahih Bukhari hadits no.5413), ucapan beliau saw : “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa air liur orang mukmin dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, hadits ini menjelaskan bahwa rasul saw bertabarruk dengan air liur mukminin bahkan tanah bumi, menunjukkan bahwa pada hakikatnya seluruh ala mini membawa keberkahan dari Allah swt.

Seorang sahabat m eminta Rasul saw shalat dirumahnya agar kemudian ia akan menjadikan bekas tempat shalat beliau saw itu mushollah dirumahnya, maka Rasul saw datang kerumah orang itu dan bertanya : “dimana tempat yang kau inginkan aku shalat?”. Demikian para sahabat bertabarruk dengan bekas tempat shalatnya Rasul saw hingga dijadikan musholla (Shahih B ukhari hadits no.1130)

Nabi Musa as ketika akan wafat ia meminta didekatkan ke wilayah suci di palestina, menunjukkan bahwa Musa as ingin dimakamkan dengan mengambil berkah pada tempat suci (shahih Bukhari hadits no.1274).

Allah memuji Nabi saw dan Um ar bin Khattab ra yang menjadikan Maqam Ibrahim as (bukan makamnya, tetapi tempat ibrahim as berdiri dan berdoa di depan ka’bah yang dinamakan Maqam Ibrahim as) sebagai tempat shalat (musholla), sebagaimana firman Nya : “Dan jadikanlah tempat berdoanya Ibrahim sebagai tempat shalat” (QS Al Imran 97), maka jelaslah bahwa Allah swt memuliakan tempat hamba hamba Nya berdoa, bahkan Rasul saw pun bertabarruk dengan tempat berdoanya Ibrahim as, dan Allah memuji perbuatan itu.

Diriwayatkan ketika Rasul saw barusaja mendapat hadiah selendang pakaian bagus dari seorang wanita tua, lalu datang pula orang lain yang segera memintanya selagi pakaian itu dipakai oleh Rasul saw, maka riuhlah para sahabat lainnya menegur si peminta, maka sahabat itu berkata : “aku memintanya karena mengharapkan keberkahannya ketika dipakai oleh Nabi saw dan kuinginkan untuk kafanku nanti” (Shahih Bukhari hadits no.5689), demikian cintanya para sahabat pada Nabinya saw, sampai kain kafanpun mereka ingin yang bekas sentuhan tubuh Nabi Muhammad saw.

Sayyidina Umar bin Khattab ra ketika ia telah dihadapan sakratulmaut, Yaitu sebuah serangan pedang yang merobek perutnya dengan luka yang sangat lebar, beliau tersungkur roboh dan mulai tersengal sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar ra), "Pergilah pada ummulmukminin, katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya, dan kalau diperbolehkan aku ingin dimakamkan disebelah Makam Rasul saw dan Abubakar ra", maka ketika Ummulmukminin telah mengizinkannya maka berkatalah Umar ra : "Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tem pat di pembaringan itu” (dimakamkan disamping m akam Rasul saw” (S hahih Bukhari hadits no.1328). Dihadapan Umar bin Khattab ra Kuburan Nabi saw mempunyai arti yang sangat Agung, hingga kuburannya pun ingin disebelah kuburan Nabi saw, bahkan ia berkata : "Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu”

Demikian pula Abubakar shiddiq ra, yang saat Rasul saw wafat maka ia membuka kain penutup wajah Nabi saw lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi tubuh beliau saw dan berkata : “Demi ayahku, dan engkau dan ibuku wahai Rasulullah.., Tiada akan Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan Allah untukmu kini telah kau lewati”. (Shahih Bukhari hadits no.1184, 4187).

Salim bin A bdullah ra melakukan shalat sunnah di pinggir sebuah jalan, maka ketika ditanya ia berkata bahwa ayahku shalat sunnah ditempat ini, dan berkata ayahku bahwa Rasulullah saw shalat di tempat ini, dan dikatakan bahwa Ibn Umar ra pun melakukannya. (Shahih Bukhari hadits no.469). Demikianlah keadaan para sahabat Rasul saw, bagi m ereka tempat-tem pat yang pernah disentuh oleh Tubuh Muhammad saw tetap mulia walau telah diinjak ribuan kaki, mereka mencari
keberkahan dengan shalat pula ditempat itu, demikian pengagungan mereka terhadap sang Nabi saw.

Dalam riwayat lainnnya dikatakan kepada Abu Muslim, wahai Abu Muslim, kulihat engkau selalu memaksakan shalat ditempat itu?, m aka Abu Muslim ra berkata : Kulihat Rasul saw shalat ditempat ini” (Shahih Bukhari hadits no.480).

Sebagaimana riwayat Sa’ib ra, : "aku diajak oleh bibiku kepada Rasul saw, seraya berkata : Wahai Rasulullah.., keponakanku sakit.., maka Rasul saw mengusap kepalaku dan mendoakan keberkahan padaku, lalu beliau berwudhu, lalu aku meminum air dari bekas wudhu beliau saw, lalu aku berdiri dibelakang beliau dan kulihat Tanda Kenabian beliau saw" (Shahih Muslim hadits no.2345).

Riwayat lain ketika dikatakan pada Ubaidah ra bahwa kami memiliki rambut Rasul saw, maka ia berkata: “Kalau aku m emiliki sehelai rambut beliau saw, maka itu lebih berharga bagiku dari dunia dan segala isinya” (Shahih Bukhari hadits no.168). demikianlah mulianya sehelai rambut Nabi saw dimata sahabat, lebih agung dari dunia dan segala isinya.

Diriwayatkan oleh Abi Jahiifah dari ayahnya, bahwa para sahabat berebutan air bekas wudhu Rasul saw dan mengusap2kannya ke wajah dan kedua tangan mereka, dan mereka yang tak mendapatkannya maka mereka mengusap dari basahan tubuh sahabat lainnya yang sudah terkena bekas air wudhu Rasul saw lalu mengusapkan ke wajah dan tangan m ereka” (Shahih Bukhari hadits no.369, demikian juga pada Shahih Bukhari hadits no.5521, dan pada Shahih Muslim hadits no.503 dengan riwayat yang banyak).

Diriwayatkan ketika Anas bin malik ra dalam detik detik sakratulmaut ia yang memang telah menyimpan sebuah botol berisi keringat Rasul saw dan beberapa helai rambut Rasul saw, maka ketika ia ham pir wafat ia berwasiat agar botol itu disertakan bersamanya dalam kafan dan hanut nya (shahih Bukhari hadits no.5925)

Tampaknya kalau mereka ini hidup di zaman sekarang, tentulah para sahabat ini sudah dikatakan musyrik, tentu Abubakar sudah dikatakan musyrik karena menangisi dan memeluk tubuh Rasul saw dan berbicara pada jenazah beliau saw

Tentunya umar bin khattab sudah dikatakan musyrik karena disakratulmaut bukan ingat Allah malah ingat kuburan Nabi saw

Tentunya para sahabat sudah dikatakan musyrik dan halal darahnya, karena mengkultuskan Nabi Muhammad saw dan menganggapnya tuhan sembahan hingga berebutan air bekas wudhunya, m irip dengan kaum nasrani yang berebutan air pastor

Nah.. kita boleh menimbang diri kita, apakah kita sejalan dengan sahabat atau kita sejalan dengan generasi sem palan.

Wahai saudaraku, jangan alergi dengan kalimat syirik, syirik itu adalah bagi orang yang berkeyakinan ada Tuhan Lain selain Allah, atau ada yang lebih kuat dari Allah, atau meyakini ada tuhan yang sama dengan Allah swt. Inilah makna syirik.

Sebagimana sabda Nabi saw : “Kebekahan adalah pada orang orang tua dan ulama kalian” (Shahih Ibn Hibban hadits no.559) Dikatakan oleh Al hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy menanggapi hadits yang diriwayatkan dalam shahih muslim bahw Rasul saw membaca mu’awwidzatain lalu m eniupkannya ke kedua telapak tangannya, lalu mengusapkannya ke sekujur tubuh yang dapat disentuhnya, hal itu adalah tabarruk dengan nafas dan air liur yang telah dilewati bacaan Alqur’an, sebagaimana tulisan dzikir dzikir yang ditulis dibejana (untuk obat). (Al Jami’usshaghiir Imam Assuyuthiy Juz 1 hal 84 hadits no.104)

Telah dibuktikan pula secara ilmiah oleh salah seorang Profesor Jepang, bahwa air itu berubah wujud bentuknya dengan hanya diucapkan padanya kalimat kalimat tertentu, bila ucapan itu berupa cinta, terimakasih dan ucapan ucapan indah lainnya maka air itu berubah wujudnya menjadi semakin indah, bila diperdengarkan ucapan cacian dan buruk maka air itu berubah menjadi buruk wujud bentuknya, dan bila dituliskan padanya tulisan mulia dan indah seperti terimakasih, syair cinta dan tulisan indah lainnya m aka ia menjadi semakin indah wujudnya, bila dituliskan padanya ucapan caci maki dan ucapan buruk lainnya maka ia berubah buruk wujudnya, kesimpulannya bahwa air itu berubah dengan perubahan emosi orang yang didekatnya, apakah berupa tulisan dan perkataan.

Keajaiban alamiah yang baru diketahui masa kini, sedangkan Rasul saw dan para sahabat telah memahaminya, mereka bertabarruk dengan air yang menyentuh tubuh Rasul saw, mereka bertabarruk dengan air doa yang didoakan oleh Rasul saw, maka hanya mereka mereka kaum muslimin yang rendah pemahamannya dalam syariah inilah yang masih terus menentangnya padahal telah dibuktikan secara dalil shahih dan pula pembuktian ilmiah, menunjukkan pemahaman mereka itulah yang jumud dan terbelakang.

Walillahittaufiq

Sumber : www.majelisrasulullah.org

Dari buku Kenalilah Akidahmu karangan Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa
Baca Selengkapnya......

Didukung Oleh - Luqman Al-Farouq Muhammad | Makassar, South Sulawesi